Jumat, 23 Desember 2011

SEJARAH TAMAN NASIONAL WAKATOBI



       Kawasan Kepulauan Wakatobi dan perairan di sekitarnya ditetapkan sebagai Taman Nasional Wakatobi melalui tahapan sebagai berikut:
1.    Survey Penilaian Potensi Sumberdaya Alam Laut Wakatobi tahun 1987 (Surat Dirjen PHPA Tanggal 9 tahun 1987);
2.    Usul Rekomendasi Penetapan Kawasan Konservasi Laut di Kep. Tukang Besi/Wakatobi (Surat Ka. Sub BKSDA Sultra No. 34/IV/6/SBKSDA-4/91 tanggal 6 April 1991);
3.    Permohonan Rekomendasi Penetapan Kawasan Konservasi Laut di Kep. Tukang Besi/ Wakatobi (Surat Kakanwil Dephutbun Prop. Sultra No.533/270/Kwl-PHPA/91 tanggal 29 Mei 1991):
4.    Rekomendasi Penetapan Kawasan Konservasi Laut di Kepulauan Tukang Besi/Wakatobi (Surat Sekwilda Tk. II Buton No. 523.3/1255 tanggal 3 Juni 1991);
5.    Rekomendasi Penetapan Kawasan Konservasi Laut di Kepulauan Tukang Besi/Wakatobi (Surat Sekwilda Tk. I Sultra No. 566/3240 tanggal 4 Juni 1991);
6.    Usul Rekomendasi Penetapan Kawasan Konservasi Laut di Kepulauan Tukang Besi/Wakatobi (Surat Dirjen PHPA No. 1340/DJ-VI/PA-4/1991 tanggal 31 Juli 1991);
7.    Rekomendasi Usulan Kawasan Konservasi Laut di Kepulauan Tukang Besi/Wakatobi (Surat Dirjen PHPA No. 2387/DJ-VI/PA-4/1991 tanggal 28 Agustus 1991);
8.    Rekomendasi Usulan Kawasan Konservasi Laut di Pulau Moromaho Dsk. Kab. Dati II Buton Prop. Sultra (Surat Dirjen PHPA No. 3801/DJ-VI/PA-4/1992 tanggal 12 Nopember 1992);
9.    Rekomendasi Penetapan Kawasan Konservasi Laut di Sulawesi Tenggara (Surat Ka. Sub BKSDA Sultra No. 602/V/7/SBKSDA-4/93 tanggal 17 Juli 1993);
10.    Rekomendasi Penetapan Kawasan Konservasi Laut di Kepulauan Tukang Besi/Wakatobi (Surat Bupati KDH Tk.II Buton No. 522.51/3226 tanggal 3 Nopember 1993);
11.    Rekomendasi Penetapan Kawasan Konservasi Laut di Kep. Tukang Besi/Wakatobi (Surat Ka. Kanwil Dephutbun Prop. Sultra No. 106/6168/Kwl-PHPA/93 tanggal 19 Nopember 1993);
12.    Rekomendasi Penetapan Kawasan Konservasi Laut di Kep. Tukang Besi/Wakatobi (Radiogram Pembantu Gub. Wil. Kepulauan Prop. Sultra No. 522.51/201 tanggal 25 Nopember 1993);
13.    Rekomendasi Penetapan Kawasan Konservasi Laut Sulawesi Tenggara (Surat Kadis Perikanan Dati I Sultra No. 523/3220/1993 tanggal 13 Nopember 1993);
14.    Rekomendasi Penetapan Kawasan Konservasi Laut di Kepulauan Tukang Besi/Wakatobi (Surat Kadis Perikanan Dati I Sultra No. 523.2/85/1994 tanggal 11 Januari 1994);
15.    Rekomendasi Penetapan Kawasan Konservasi Laut di Kepulauan Tukang Besi/Wakatobi (Surat Gubernur  KDH Tk. I Sultra No. 522.51/2548 tanggal 7 Maret 1994);
16.    Rekomendasi Penetapan Kawasan Konservasi Laut di Kepulauan Tukang Besi/Wakatobi (Surat Menhut RI No. 976/Menhut-VI/94 tanggal 2 Juli 1994);
17.    Penunjukan Kawasan Perairan Kep. Wakatobi di Kab. Dati II Buton, Prop. Sultra seluas ±  306.690 (Tiga ratus enam ribu enam ratus sembilan puluh) Hektar sebagai Taman Wisata Alam Laut (SK. Menhut RI No. 462/KPTS-II/1995 tanggal 4 September 1995);
18.    Penunjukan Kepulauan Wakatobi dan perairan sekitarnya seluas 1.390.000 Ha sebagai Taman Nasional (SK. Menhut RI No. 393/Kpts-Vi/1996 tanggal 30 Juli 1996);
19.    Organisasi dan Tata Kerja Balai dan Unit Taman Nasional (SK. Menhut RI No. 185/Kpts-II/1997 tanggal 31 Maret 1997);
20.    Organisasi dan Tata Kerja Balai Taman Nasional (SK. Menhut RI No. 6186/Kpts-II/2002 tanggal 10 Juni 2002);
21.    Penetapan Kepulauan Wakatobi dan perairan sekitarnya seluas 1.390.000 Ha sebagai Taman Nasional. (SK. Menhut RI No. 7651/Kpts-II/2002 tanggal 19 Agustus 2002);
22.    Penegasan Menhut bahwa letak dan luas TNW tidak berubah, pulau-pulau yang telah berpenduduk dijadikan zona penyangga (Surat Menhut No. 723/Menhut-II/2005) tanggal 13 Nopember 2005);
23.    Perubahan nama Taman Nasional Kepulauan Wakatobi (TNKW) menjadi Taman Nasional Wakatobi (TNW) (Permenhut No. P.29/Menhut-II/2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Taman Nasional;
24.    Organisasi dan Tata Kerja UPT Taman Nasional (Permenhut No.P.03/Menhut-II/2007)
Kondisi Fisik Kawasan :
1.    Letak dan Luas
      Kepulauan Wakatobi sejak tahun 2003 telah menjadi Kabupaten sebagai pemekaran dari Kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara dengan batas-batas yang mengacu pada koordinat geografis Titik Referensi sebagai berikut (Peta terlampir) :
1.    TN-3201 yang terletak di P. Wangi-Wangi (05021’28’’ LS;  123033’24’’ BT)
2.    TN-3202 yang terletak di Selatan P. Kaledupa (05034;12’’ LS; 12304618’’ BT)
3.    TN-3203 yang terletak di ujung Selatan P. Binongko (06000’42 LS;  124002’31’’ BT)
4.    TN-3204 yang terletak di P. Moromaho (06007’54” LS; 124035’59” BT)
5.    TN-3205 yang terletak di P. Runduma (05019’27” LS; 124019’21” BT)
      Taman Nasional Wakatobi adalah kawasan konservasi perairan laut yang dibatasi atau memiliki batas-batas luar yang berupa garis-garis yang menghubungkan titik-titik dengan koordinat sebagai berikut (Peta terlampir) :
6.    Titik 1 dengan koordinat geografis 05011’57” LS dan 123020’00” BT;
7.    Titik 2 dengan koordinat geografis 05012’04” LS dan 123038’56” BT;
8.    Titik 3 dengan koordinat geografis 05012’04” LS dan 123039’01” BT;
9.    Titik 4 dengan koordinat geografis 05012’04” LS dan 123050’00” BT;
10.    Titik 5 dengan koordinat geografis 06036’04” LS dan 123020’00” BT.
      Berdasarkan administratif pemerintahan, wilayah Wakatobi terdiri dari 67 desa/kelurahan dan 8 (delapan) kecamatan dan masuk dalam wilayah Kabupaten Wakatobi Propinsi Sulawesi Tenggara.
Luas kawasan TNW adalah 1.390.000 Ha, sama persis atau overlap dengan luas dan letak wilayah Kabupaten Wakatobi.  Dari luasan tersebut sebanyak 97% merupakan wilayah perairan/laut dan sisanya sebanyak 3% merupakan wilayah daratan berupa pulau-pulau.
2.    Iklim dan Musim
      Iklim di Kepulauan Wakatobi menurut Schmidt-Fergusson termasuk tipe C, dengan dua musim yaitu musim kemarau (musim timur: April – Agustus) dan musim hujan (musim barat: September – April).  Suhu harian berkisar antara 19 – 340C.
3.    Hidrologi
      Secara umum kondisi hidrologi di pulau-pulau yang ada di Kepulauan Wakatobi adalah bersumber dari air tanah, yang berbentuk semacam goa (masyarakat Wakatobi menyebutnya Topa) yang dipengaruhi pasang surut air laut, sehingga rasanya tidak terlalu tawar.  Semakin dekat sumber air tersebut ke laut semakin payau rasa air tersebut.  Di seluruh pulau-pulau yang ada di kawasan TNW semuanya tidak mempunyai sungai, sehingga air hujan yang jatuh langsung diserap oleh tumbuhan dan sebagian lagi mengalami aliran permukaan. Air hujan oleh kebanyakan masyarakat Wakatobi ditampung dalam bak penampungan sebagai cadangan air dalam musim kemarau yang digunakan untuk kebutuhan rumah tangga dan air minum.
4.    Oseanografi
      Perairan TNW tergolong masih bersih dan belum terlihat adanya pengaruh kegiatan manusia seperti limbah rumah tangga.  Hal ini ditandai oleh tingginya dan homogennya kadar oksigen terlarut (5,28 - 7,59 ppm), serta kadar nitrit (< 1,00 - 4,20 ppb) yang selalu lebih rendah dibandingkan dengan kadar nitrat (< 1,00 - 22,46  ppb).   Suhu permukaan laut (2 m) berkisar antara 27,26 – 28,730C.  Nilai salinitas pada permukaan (2 m) berkisar antara 34,15 - 34,34 psu.  Kecerahan pada permukaan (2 m) di perairan Wakatobi berkisar antara 70,8 – 86,1 %.  Nilai kekeruhan (turbiditas) sangat rendah yaitu < 1 NTU.  Intensitas matahari mampu menembus sampai kedalaman antara 55 meter hingga 122 meter.  Kecepatan arus pada kedalaman 13 meter berkisar antara 25 – 43 meter/detik.  (Laporan CRITC-COREMAP LIPI, 2001)
5.    Geologi
      Terbentuknya kepulauan Wakatobi dimulai sejak jaman Tersier hingga akhir jaman Miosen.  Pembentukan pulau-pulau di kawasan ini akibat adanya proses geologi berupa sesar geser, sesar naik maupun sesar turun dan lipatan yang tidak dapat dipisahkan dari bekerjanya gaya tektonik yang berlangsung sejak jaman dulu hingga sekarang. Secara keseluruhan kepulauan ini terdiri dari 39 pulau, 3 gosong dan 5 atol. Terumbu karang di kepulauan ini terdiri dari karang tepi (fringing reef), gosong karang (patch reef) dan atol.  Empat pulau utama di Wakatobi, yaitu Pulau Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia dan Binongko.
`Dari proses pembentukannya, atol yang berada di sekitar kepulauan Wakatobi berbeda dengan atol daerah lain. Atol yang berada di kepulauan ini terbentuk oleh adanya penenggelaman dari lempeng dasar.Terbentuknya atol dimulai dari adanya kemunculan beberapa pulau yang kemudian diikuti oleh pertumbuhan karang yang mengelilingi pulau.  Terumbu karang yang ada di sekeliling pulau terus tumbuh ke atas sehingga terbentuk atol seperti beberapa atol yang terlihat sekarang, antara lain Atol Kaledupa, Atol Kapota, dan Atol Tomia.
Kondisi Ekonomi, Sosial dan Budaya Masyarakat :
1.    Ekonomi
      Sebagian besar penduduk Wakatobi bermata pencaharian dengan memanfaatkan sumberdaya alam laut yang ada di perairan kawasan Taman Nasional Wakatobi sebagai sumber pendapatan/mata pencahariannya yaitu sebagai nelayan tradisional dan petani budidaya rumput laut. Sisanya sebagai pedagang atau berlayar dengan jarak berlayar bisa sampai ke Singapura atau Malaysia, selain itu adalah sebagai petani sederhana yang hanya berkebun singkong dan jagung karena kondisi tanah di seluruh Pulau-pulau yang ada di Wakatobi adalah berupa karang/berbatu. Tingkat pendapatan masyarakat masih tergolong rendah, sehingga dapat dikatakan sebagai kategori miskin. 
2.    Sosial
      Penduduk Wakatobi terdiri dari berbagai macam etnis yaitu etnis Wakatobi asli, Bugis, Buton, Jawa dan Bajau. Namun kebudayaan etnis asli masih kuat dan belum banyak mengalami akulturasi dan masing-masing etnis hidup dengan teratur, rukun dan saling menghargai.  Etnis Bajau merupakan etnis yang sangat unik, karena kehidupannya sangat tergantung pada sumber daya laut, mulai dari pemukiman yang berada di atas pesisir laut dengan memanfaatakan batu karang untuk membangun kawasan pemukimannya, sampai mata pencahariaanyapun sanagat tergantung pada laut. Etnis Bugis, Buton dan Jawa umumnya sebagai pedagang dan petani dan hanya sebagian kecil sebagai nelayan.  Masyarakat Wakatobi seluruhnya menganut agama Islam.
      Kondisi pendidikan masyarakat Wakatobi masih tergolong rendah, hal ini bisa dilihat dari tingkat pendidikan masyarakat yang rata-rata hanya tamatan SD dan SMP, hanya sebagian kecil yang merupakan lulusan SLTA dan Perguruan Tinggi.  Sarana prasarana pendidikan juga belum lengkap. Sarana prasarana pendidikan yang tertinggi baru sampai SMU, dimana di setiap pulau telah memiliki satu bangunan SMU.
Kondisi kesehatan masyarakat Wakatobi tergolong sudah baik, hal ini dapat dilihat dari kehidupan keseharian dan kondisi lingkungan yang ada di masyarakat Wakatobi yang umunya dapat dikatakan bersih, dan pola pemukiman seta kesehatan pemukiman sudah tertata dengan baik walaupun jumlah sarana kesehatan masih rendah. Masalah bidang kesehatan di Kabupaten Wakatobi untuk sekarang ini adalah masih kurangnya jumlah petugas kesehatan terutama dokter.
3.    Budaya
      Masyarakat asli Wakatobi terdiri dari 9 masyarakat adat/lokal, yaitu masyarakat adat/lokal Wanci, masyarakat adat/lokal Mandati, masyarakat adat/lokal Liya, dan masyarakat adat/lokal Kapota di Pulau Wangi-Wangi dan Kapota, masyarakat adat/lokal Kaledupa di P. Kaledupa, masyarakat adat/lokal Waha, masyarakat adat/lokal Tongano dan masyarakat adat/lokal Timu di P. Tomia, serta masyarakat adat/lokal Mbeda-beda di P. Binongko.  Selain itu juga terdapat dua masyarakat adat/lokal yang merupakan pendatang yaitu masyarakat adat Bajau dan masyarakat adat Cia-cia yang berasal dari etnis Buton.  Setiap masyarakat adat/lokal tersebut memiliki bahasa yang khas untuk adat/lokal masing-masing.  Walaupun bahasa yang digunakan berbeda-beda tetapi diantara mereka tetap bisa saling memahami saat melakukan komunikasi.  Tarian khas masyarakat Wakatobi diantaranya adalah Tari Lariangi (Kaledupa), Pajoge, Tari Balumpa (Binongko), dll.     


EKSTRAK WIJEN EFEKTIF MEMATIKAN WERENG PUCUK METE


SKRIPSI        
OLEH RAHMAN



I.    PENDAHULUAN
1.1.    Latar Belakang
        Tanaman jambu mete (Anacardium accidentale L.) merupakan salah satu komoditas perkebunan yang bernilai ekonomi tinggi, terutama di kawasan Timur Indonesia yang mempunyai periode curah hujan singkat (3-4 bulan). Tanaman ini tahan terhadap kekeringan serta banyak ditanam dan dikembangkan di daerah yang beriklim kering, diantaranya Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Maluku, dan Bali (Wahyuno, 2005).
        Produksi tanaman perkebunan di Sulawesi Tenggara pada tahun 2006 yang tertinggi adalah tanaman kakao mencapai 124.921 ton, kemudian tanaman jambu mete sebanyak 40.325 ton yang tersebar di seluruh wilayah kabupaten dan kota (BPS., 2007).
    Tanaman jambu mete merupakan komoditi ekspor yang banyak manfaatnya, mulai dari akar, batang, daun, dan buah, selain itu juga biji mete (kacang mete) dapat digoreng untuk makanan bergizi tinggi. Biji mete (kacang mete) mengandung fosfor (P) 0,48 %, kalsium (Ca) 0,048 %, besi (Fe) 5 mg/100 gr, vitamin B1 270 ± 380 u gr/100 gr, vitamin B2 190 u gr/100 gr. Buah mete semu dapat diolah menjadi beberapa bentuk olahan seperti sari buah mete, anggur mete, manisan kering, selai mete dan buah kalengan (Prihatman, 2000).
          Wilayah pasar jambu mete sangat luas baik di dalam maupun luar negeri. Indonesia pada saat ini belum mampu mensuplai kebutuhan jambu mete dunia. Pada era globalisasi dan pasar bebas yang saat ini berkembang pesat merupakan tantangan sekaligus  peluang bagi perkembangan komoditas jambu mete, karena sebagian produk jambu mete diekspor. Pada tahun 2004 ekspor jambu mete Indonesia 59.372 ton dengan nilai sebesar 58,2 juta dolar. Keunggulan dari pembudidayaan jambu mete merupakan komoditas utama untuk lahan marginal beriklim kering. Kondisi lingkungan demikian banyak ditemukan di Indonesia bagian timur, oleh karena itu jambu mete merupakan salah satu pilihan untuk dijadikan sebagai basis mengatasi kemiskinan di daerah (Djariujah dkk., 1994).
    Kondisi pertanaman jambu mete di lapang saat ini mengkhawatirkan akibat produktivitas yang makin menurun, dapat dilihat pada ukuran golondong buah yang makin mengecil  dan meningkatnya serangan hama dan penyakit, oleh karena itu untuk meningkatkan produktivitas pertanaman jambu mete rakyat, sekaligus menekan kerugian yang mungkin timbul akibat serangan hama, maka perlu dilakukan pengendalian.
    Upaya mengendalikan hama utama pada pertanaman jambu mete, petani biasanya menggunakan pestisida  sintetik, untuk menekan kehilangan hasil yang dapat timbul akibat serangan hama. Pestisida sintetik ini umumnya memiliki sifat residu dan berpotensi menimbulkan berbagai permasalahan lingkungan dan kehidupan dikemudian hari, untuk mengurangi potensi kerusakan lingkungan dan juga gangguan kesehatan pada manusia maka perlu dikembangkan pestisida nabati yang efektif  untuk mengendalikan hama.
    Penggunaan pestisida  nabati  dimaksudkan  bukan untuk meninggalkan penggunaan pestisida sintetik, tetapi hanya merupakan cara alternatif dengan tujuan agar petani tidak hanya bergantung kepada pestisida sintetik. Tujuan lainnya agar penggunaan pestisida sintetik dapat diminimalkan sehingga kerusakan yang diakibatkan juga dapat dikurangi (Kardinan, 1999).
    Beberapa dari jenis tumbuhan dapat dijadikan sebagai bahan pestisida nabati yang dapat digunakan untuk mengendalikan serangga hama tanaman atau nyamuk (Vatandoost dan Vaziril, 2004). Tanaman wijen merupakan salah satu tanaman diketahui memiliki potensi sebagai pestisida nabati.
    Berdasarkan hal tersebut, maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui efektivitas ekstrak wijen terhadap mortalitas wereng pucuk mete             (Sanurus indecora).

1.2.      Rumusan Masalah
    Berdasarkan uraian dari latar belakang di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini yaitu apakah ekstrak wijen efektif mematikan wereng pucuk  mete (S. indecora)?

1.3.    Tujuan dan Kegunaan
    Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas ekstrak wijen  dalam mematikan wereng pucuk mete (S. indecora).
    Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi, sumber bacaan serta sebagai pembanding untuk penelitian selanjutnya.

1.4.    Hipotesis
    Minimal ada satu perlakuan ekstrak wijen yang efektif dapat mematikan wereng pucuk mete (S. indecora).

II.    TINJAUAN PUSTAKA
2.1.    Tanaman Jambu Mete (Annacardium occidentale L.)
    Produk tanaman jambu mete adalah buahnya yang terdiri dari buah semu dan buah sejati atau biji mete gelondongan yang didalamnya terdapat kacang mete. Sampai saat ini bagian buah jambu mete yang memiliki nilai ekonomi tinggi baru berupa buah mete gelondong dengan biji metenya, sedangkan bagian-bagian lainya seperti daun, batang, dan akarnya belum dimanfaatkan sepenuhnya meskipun memilliki potensi ekonomi yang tinggi karena dapat menghasilkan zat (CNSL = Cashew Nut Shell Liquid) minyak ini dapat dipakai dalam industri dan digunakan sebagai bahan pengawet, misalnya untuk mengawetkan peralatan kayu dan jala penangkap ikan (Ahmad, 2009).
    Dalam sistematika tanaman, jambu mete dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
    Devisi     :  Spermatophyta
Subdivisi        :  Angiaspermae
Kelas    :  Dicotyledonae
Ordo    :  Sapindales
Famili    :  Anacardiaceae
Genus    :  Anacardium
    Spesies    :  Annacardium occidentale L. (Cahyono, 2001).
    Kulit kayu jambu mete mengandung cairan berwarna coklat. Apabila terkena udara, cairan tersebut berubah menjadi hitam. Cairan ini dapat digunakan untuk bahan tinta, bahan pencelup, atau bahan pewarna. Selain itu, kulit batang pohon jambu mete juga berkhasiat sebagai obat kumur atau obat sariawan. Batang pohon mete menghasilkan gum atau blendok untuk bahan perekat buku. Selain daya rekatnya baik, gum juga berfungsi sebagai anti ngengat yang sering menggerogoti buku. Akar jambu mete berkhasiat sebagai pencuci perut. Daun Jambu mete yang masih muda dimanfaatkan sebagai lalap, terutama di daerah Jawa Barat. Daun yang tua dapat digunakan untuk obat luka bakar         (Prihatman, 2000).

2.2.    Biologi Wereng Pucuk Mete (Sanurus indecora)
    Sanurus indecora (Homoptera : Flatidae) merupakan serangga polifag yang banyak menyerang tanaman semusim maupun tanaman tahunan. Salah satu hama penting tanaman jambu  mete selain   Helopeltis spp. adalah   wereng pucuk  (S. indecora),  yang  sebelumnya  dikenal  sebagai Lawana candida   (Siswanto dkk., 2003). 
    Klasifikasi S. indecora adalah sebagai berikut :
    Kingdom     : Animalia
    Phillum     : Arthropoda
    Kelas     : Insekta
    Ordo     : Homoptera
    Famili     : Flatidae
    Genus     : Sanurus
    Spesies           : Sanurus indecora, (Siswanto dkk., 2003).
    Imago S. indecora  menyerupai kupu-kupu. Tubuh dan tungkai berwarna kuning pucat, sedangkan warna  kepala dan sayap bervariasi yaitu putih, hijau pucat atau putih  kemerahan. Pada  kepala  terdapat sepasang mata majemuk berwarna coklat gelap. Panjang dari ujung kepala sampai ujung sayap sekitar 8 – 10 mm dan lebar sayap 3 – 4 mm. Saat hinggap, sayap menutup tubuh dengan posisi tegak ke bawah. Pada tegmen (sayap depan) kadang-kadang terlihat garis merah disepanjang tepinya. Tegmen, postclaval  membentuk sudut tegak lurus. Venasi tegmen banyak cross veins, vena anal membentuk huruf Y pada bagian ujung. Tibia tungkai belakang hanya mempunyai satu spina lateral. Carina pada frons 1 berbentuk U dan 1 membujur ditengah (Siswanto dkk., 2003).
    Telur S. indecora  diletakkan secara berkelompok 30 – 80 butir pada permukaan bawah daun, tangkai daun, dan atau tangkai pucuk, ditutupi lapisan lilin berwarna putih atau kuning.  Periode telur berlangsung 6 – 7 hari (Siswanto dkk,. 2003; Mardiningsih, 2004). Telur berwarna putih, lalu berubah menjadi coklat menjelang menetas. Telur berbentuk oval, panjang 0,95 – 1,09 mm dan lebar 0,37 – 0,47 mm. Nimfa berwarna krem dan tertutup tepung lilin berwarna putih. Nimfa dan imago tidak aktif  bergerak,  hanya meloncat. Kepadatan populasi  pada  satu  karangan  bunga      mencapai 80   ekor  atau  lebih (Siswanto dkk., 2003), Periode nimfa berlangsung 42 – 49 hari (Mardiningsih dkk., 2004).
    Sanurus indecora mulai menyerang tanaman jambu mete pada awal musim kemarau dan makin meningkat pada saat memasuki fase generatif. Pada musim berbunga, serangga menutupi tangkai bunga. Puncak populasi hama terjadi pada bulan Juli dan Agustus, saat tanaman mulai berbunga dan berbuah. Populasi menurun pada bulan Oktober bersamaan dengan berakhirnya fase generatif. Bekas keberadaan hama ini mulai dikenali dengan adanya embun jelaga pada permukaan daun bagian atas serta lapisan lilin dan kulit nimfa (eksuvia) yang ditinggalkan pada waktu nimfa berganti kulit (Wiratno dan Siswanto, 2002).

2.3.    Gejala Serangan Wereng Pucuk Mete (Sanurus indecora)
    Nimfa dan imago S. indecora menyerang tanaman dengan cara menusuk dan mengisap cairan tanaman. Pada pucuk dan tangkai bunga, bekas serangan berupa titik-titik hitam agak menonjol seperti bisul, yang bila dibelah akan terlihat tusukan tersebut mencapai floem dan xilem (Wiratno dkk., 2003), akibatnya aliran zat hara menuju bunga terganggu, ketika populasi tinggi, serangan S. indecora pada tangkai bunga yang diserang mengakibatkan bagian bunga tersebut mengering sehingga bunga gagal menjadi buah. Selain itu, permukaan daun banyak ditumbuhi cendawan jelaga karena adanya embun madu yang dihasilkan hama tersebut (Siswanto dkk., 2002).

2.4.     Kerugian Akibat Serangan Wereng Pucuk Mete
    Gelondong jambu mete yang sehat (tidak terserang) berbeda dengan yang terserang S. indecora. Gelondong sehat terlihat bersih, mengkilat, dan berukuran normal. Gelondong yang terserang umumnya juga berukuran normal, tetapi kotor, kusam dan lengket jika dipegang karena ditumbuhi embun jelaga. Akibatnya, harga gelondong tidak sehat lebih murah dari pada gelondong sehat dan dapat mencapai separuh dari harga yang normal (Wiratno dkk., 2003). Pada tanaman jambu mete yang pernah terserang S. indecora, persentase bunga menjadi buah lebih rendah dibandingkan dengan tanaman yang belum pernah terserang hama tersebut (Mardiningsih dkk., 2004 ).

2.5.    Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan S. indecora
2.5.1    Tanaman Inang
    Menurut Syamsumar dan Haryanto (2003), selain jambu mete,                S. indecora juga menyerang belimbing (Averrhoa carombola), sirsak (Annona muricatai), dan ceremai (Phyllanthusacidus).

2.5.2    Faktor Lingkungan    
    Populasi S.  indecora biasanya mulai berkembang pada bulan April/Mei, awal musim kemarau yaitu  menjelang musim pembungaan jambu mete, dimana daun muda dan pucuk serta kuncup bunga mulai banyak. Populasi serangga tersebut  mencapai  puncaknya pada puncak musim pembungaan yaitu pada sekitar  bulan Agustus/September. Populasi mulai menurun pada bulan November – Desember (Siswanto dkk., 2002).

2.6.    Strategi Pengendalian yang Dapat di Kembangkan
    2.6.1 Pengendalian Secara Fisik       
        Pengendalian dapat dilakukan secara fisik, apabila serangga Serangga pradewasa atau dewasa belum ditemukan maka upaya pengendalian dilakukan dengan mengamati keberadaan telurnya. Telur S. indecora  dapat ditemukan pada permukaan daun bagian  atas dan bawah serta pucuk. Telur diletakan secara berkelompok serta ditutupi lapisan lilin berwarna putih kekuningan. Telur yang baru diletakkan berwarna putih, kemudian berubah menjadi kuning kecoklatan saat akan menetas. 

2.6.3  Pengendalian Secara Kultur Teknis
        Pengendalian wereng pucuk (S. indecora) juga dapat dilakukan secara kultur teknis dengan tumpang sari antara tanaman jambu mete dan tanaman wijen. Pemilihan tanaman yang tepat, yang akan dibudidayakan secara polikultur dengan tanaman jambu mete merupakan metode yang paling hemat, murah dan dapat diaplikasikan oleh petani.  
        Beberapa tanaman yang dapat dijadikan sebagai tanaman tumpang sari  pada tanaman jambu mete antara lain tanaman wijen. Tanaman tersebut selama ini dikenal sebagai tanaman yang dibudidayakan secara luas di Sulawesi Tenggara, terutama di pulau-pulau kecil di Kabupaten Buton, Muna, Wakatobi Propinsi Sulawesi Tenggara, yang merupakan sentra penanaman jambu mete di Sulawesi Tenggara.  

2.6.2  Pengendalian Secara Hayati
        Cara pengendalian S. indecora menggunakan cendawan Synnematium sp, cendawan ini spesifik untuk S. indecora sehingga pengendalian dengan cendawan ini ramah lingkungan.
2.6.4  Pengendalian Secara Kimia   
    Pengendalian secara kimia dapat dilakuakan dengan menggunakan insektisida nabati dan insektisida sintetik (Wiratno dkk., 2003). Pengendalian dengan menggunakan insektisida nabati misalnya, Biji bengkuang (Pachyrrizus erosus) mengandung pachyrrizida yang termasuk dalam golongan rotenoid. Kandungan yang ada pada biji Bengkuang mampu meracuni perut hama ulat Plutella xylostella,  Setelah pachyrrizida terakumulasi dalam sistem pencernaan ulat, ulat akan mengalami kematian. Tanaman wijen adalah salah satu tanaman yang dapat dijadikan sebagai bahan pestisida nabati karena mengandung senyawa kimia yang diduga dapat menekan perkembangan serangga hama. 

2.7.     Wijen
        Wijen (Sesamum indicum) merupakan komoditas pertanian yang sangat potensial sebagai penghasil minyak nabati yang dibutuhkan dalam industri kosmetik, farmasi, makanan dan lain-lain. Biji wijen memiliki kandungan gizi yang tinggi dan berdampak positif bagi konsumennya (Handajani, 2006).
    Wijen terdapat di daerah di India, Tiongkok, Mesir, Turki, Sudan, serta Meksiko dan Venezuela. Akar tanaman ini bertipe akar tunggang dengan banyak akar cabang yang sering bersimbiosis dengan mikoriza VA (vesikular-arbuskular). Tanaman mendapat keuntungan dari simbiosis ini dalam memperoleh air dan hara dari tanah (Anonim, 2009).
    Biji wijen mengandung 50-53% minyak nabati, 20% protein, 7-8% serat kasar, 15% residu bebas nitrogen, dan 4,5-6,5% abu. Minyak biji wijen kaya akan asam lemak tak jenuh, khususnya asam oleat (C18:1) dan asam linoleat (C18:2, Omega-6), 8-10% asam lemak jenuh. Minyak biji wijen juga kaya akan Vitamin E (Gumira, 2008).
    Menurut Hembing (2009)  dalam bukunya Tumbuhan Berkhasiat Obat Indonesia, wijen berkhasiat mencegah kanker dan penuaan. Khasiat wijen didapat dari kandungan zat-zat kimia yang diketahui lewat sejumlah penelitian. Beberapa zat yang ada dalam wijen antara lain gliserida (asam oleat, linoleat, palmitat, stearat, miristinat), sesamin, sesamolin, sesamol, lignans, pedaliin, planteose, sitokrom C, protein, prantosa, vitamin A, B1, dan E. Wijen banyak kegunaannya diantaranya untuk pencegahan, pengobatan, dan perawatan. Untuk preventif wijen berkhasiat mencegah kerontokan rambut, penuaan, kanker, penyakit degeneratif, rambut beruban, stroke, hipertensi, dan lain-lain. Untuk pengobatan, wijen dimanfaatkan dalam mengatasi penyakit batuk, katarak, sakit perut-diare, sakit kepala, kencing nanah, kencing manis, sembelit, rematik, dan luka-luka.
    Menurut Rukmana (1998) bahwa biji wijen merupakan sumber makanan bergizi dan minyak nabati yang berguna bagi kesehatan tubuh. Selain itu, biji wijen amat dibutuhkan untuk bahan baku aneka industri, misalnya industri farmasi, kosmetika, pestisida dan peralatan listrik. Minyak wijen mengandung sesamin yang berguna untuk meningkatkan daya bunuh insektisida. Dalam kehidupan  sehari-hari, minyak wijen digunakan untuk minyak goreng yang dapat mempertahankan mutu (kualitas) makanan yang digoreng.
    Kedudukan tanaman wijen dalam sistematika (taksonomi) tumbuhan diklasifikasikan sebagai berikut :
    Kingdom     :  Plantae
    Divisi          :  Spermatophyta
    Sub divisi     :  Angiospermae
    Kelas     :  Dicotyledonae
    Ordo     :  Pedaliales
    Famili     :  Pedaliacea
    Genus     :  Sesanum
    Spesies     :  Sesanum indicum L., (Anonim, 2009).     
    Bentuk dan susunan tubuh luar (morfologi) tanaman wijen adalah sebagai berikut :
•    Tinggi bervariasi dari 60 cm hingga 120 cm, bahkan dapat mencapai 2-3 meter. Batangnya berkayu pada tanaman yang telah dewasa, kadang-kadang pada varietas tertentu, batang wijen berbulu menutup seluruh permukaan batang.
•    Daun berbentuk lidah memanjang, letak (susunan) daun berselang-seling. Berukuran panjang 3,0 cm – 17,5 cm dan lebar 1,0 cm – 7,0 cm, berwarna hijau muda sampai hijau tua.
•    Bunga wijen muncul dari ketiak-ketiak daun, berjumlah 1 – 3 kuntum/ketiak, berwarna putih atau ungu. Bunga berukuran panjang 2,5 cm – 3,0 cm dengan diameter 0,5 cm – 1,0 cm, dan benangsarinya menempel di dalam mahkota bunga. Sosok mahkota bunga berbentuk corong.
•    Buah wijen berbentuk polong. Ukuran polong, panjang 2,5 cm – 3,0 cm dengan berdiameter 0,5 cm – 1,0 cm, dan terdapat 4 – 8 kotak/polong sebagai tempat biji.
•    Biji wijen berukuran kecil, pipih, dengan bagian pangkal agak meruncing dan ujungnya tumpul.

                
(A)                                      (B)               
   
    Gambar 2.2. Buah Wijen (A) dan biji wijen (B).

III.     METODOLOGI PENELITIAN
3.1.    Waktu dan Tempat
    Penelitian dilaksanakan pada bulan November 2010 sampai Januari 2011. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo Kendari.
   
3.2.    Bahan dan Alat
    Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah biji wijen, wereng pucuk mete, bibit  mete segar umur  6 bulan, kapas, air, etanol 96 % dan daun jambu mete.
    Alat yang digunakan adalah stoples plastik berukuran diameter 12 cm dan  tinggi 9 cm, kain kasa, karet gelang, cawan petri, blender, gelas piala, pisau, timbangan, kuas, corong kaca, rotary evaporator,  kurungan serangga  dengan ukuran 60 cm x 60 cm x 80 cm dan alat tulis menulis.

3.3.    Metode Penelitian
3.3.1.    Persiapan Penelitian
    Serangga yang digunakan adalah S. indecora berupa telur, nimfa dan imago yang diperoleh dari tanaman jambu mete. Selanjutnya hasil koleksi           dikembangbiakkan di laboratorium. Wereng pucuk mete dibiakkan dengan memberikan pakan bibit jambu mete yang ditempatkan dalam kurungan serangga yang berukuran 60 cm x 60 cm x 80 cm.
    Telur yang dihasilkan oleh serangga betina (biasanya diletakkan pada permukaan bawah daun jambu mete) dipindahkan ke dalam stoples plastik yang lain dengan menyertakan daun dimana kelompok telur tersebut ditemukan. Nimfa yang muncul dipindahkan ke stoples yang lain dan dipelihara sampai menjadi imago  dalam jumlah besar yang siap dijadikan sebagai serangga uji.  

 
    Gambar 3.1. Kurungan S. indecora yang digunakan dalam penelitian.


3.3.2.    Pembuatan Ekstrak
    Pembuatan ekstrak dilakukan berdasarkan modifikasi metode Worth dan Morgan (1971) dalam Pujiastuti (1993) sebagai berikut :
    Bahan mentah berupa wijen dicuci bersih lalu dikeringkan dalam oven dengan  suhu  600C  sampai bahan tersebut kering, wijen  yang sudah kering diblender. Bahan yang telah dihaluskan diambil sebanyak 100 gram dan disimpan ke dalam gelas piala ditambah etanol 96 %, sebanyak 300 ml (perbandingan 1: 3 berat/volume). Bahan direndam selama 24 jam, lalu bahan disaring dengan menggunakan corong kaca kedalam labu penyaring, kemudian bahan  direndam  kembali  dengan  etanol 96 %,  ini  dilakukan sebanyak 3 kali (3 hari). Filtrat ditampung dalam labu penyaring. Selanjutnya filtrat diuapkan dengan rotary evaporator pada suhu 55⁰C sampai volume minimum konstan. Hasil filtrat yang telah dievaporasi diencerkan dengan air (aquades). 

3.3.3.    Tahap Pengujian
    Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri atas 6 perlakuan dan 3 ulangan, yaitu :
    EW0  = Kontrol
    EW1  = Ekstrak Wijen 0,1 mg/10 cc air                                   
    EW2  = Ekstrak Wijen 0,5 mg/10 cc air
    EW3  = Ekstrak Wijen 1,0 mg/l0 cc air
    EW4  = Ekstrak Wijen 1,5 mg/10 cc air
    EW5  = Ekstrak Wijen 2,0 mg/10 cc air

    Daun jambu mete yang telah disemprot dengan ekstrak sesuai dengan perlakuan dikering-anginkan lalu dimasukkan ke dalam stoples. Selanjutnya masing-masing stoples dimasukkan 10 ekor wereng pucuk mete dan ditutup dengan kain kasa.

3.3.4.    Pengamatan
    Pengamatan dilakukan dengan melihat  jumlah wereng pucuk mete yang mati pada 12, 24, 36 dan 48 jam setelah aplikasi (JAS). Persentase mortalitas dihitung dengan menggunakan rumus:



              A
 P  =               X 100 %
              B

Keterangan :                
    P  =  Persentase mortalitas
  A =  Jumlah wereng pucuk mete yang mati
    B =  Jumlah wereng pucuk mete yang diteliti

3.3.5.    Analisis Data
    Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan sidik ragam dan apabila hasil uji menunjukkan F hit > F Tabel maka dilanjutkan dengan uji Jarak Berganda Duncan (UJBD) pada taraf kepercayaan 95%.


IV.    HASIL DAN PEMBAHASAN
A.    Hasil Pengamatan
    Hasil pengamatan pengaruh konsentrasi ekstrak wijen terhadap mortalitas wereng pucuk mete (S. indecora) pada 12, 24, 36 dan 48 jam setelah aplikasi (JSA) masing-masing dapat dilihat pada lampiran 2a, 3a, 4a dan 5a, sedangkan hasil sidik ragam disajikan pada lampiran 2b, 3b, 4b dan 5b.
Tabel 4.1 Rata-rata mortalitas S. indecora  setelah  aplikasi ekstrak wijen pada  12, 24, 36 dan 48 jam setelah aplikasi (JSA).


Perlakuan    Mortalitas S. Indecora (%)
    Pengamatan Ke- (JSA)
    12       24       36       48  
Kontrol                            X                               0,00 c      0,00 c    0,00 c      0,00 b
                                        Y         0,91        0,91        0,91        0,91
EW 0,1 mg/10 cc air       X       10,00 b      30,00 b      66,67 b    100,00 a
                                        Y       18,43      32,21      54,78      89,09
EW 0,5 mg/10 cc air       X       20,00 b      76,67 a      96,67 a    100,00 a
                                        Y       26,07      61,92      83,25      89,09
EW 1,0 mg/l0 cc air        X       46,67 a      83,33 a      93,33 a    100,00 a
                                        Y       42,99      66,64      77,41      89,09
EW 1,5 mg/10 cc air       X       43,33 a      80,00 a      96,67 a    100,00 a
                                        Y       41,07      64,63      83,25      89,09
EW  2,0 mg/10 cc air      X       43,33 a      83,33 a      96,67 a    100,00 a
                                        Y       41,15      66,64      85,25      89,09
DMRT 5 %    2 = 10,90    2 = 17,44    2 = 15,01    2 = 0,00
    3 = 11,42    3 = 18,26    3 = 15,71    3 = 0,00
    4 = 11,72    4 = 18,72    4 = 16,13    4 = 0,00
    5 = 11,93    5 = 19,08    5 = 16,41    5 = 0,00
    6 = 12,07    6 = 19,31    6 = 16,61    6 = 0,00

Keterangan :   Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang  sama berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95%.
x = data asli
               y = data setelah transformasi arcsin


    Berdasarkan Tabel 4.1 menunjukkan bahwa,  pengamatan 12 jam setelah aplikasi mortalitas tertinggi terdapat pada perlakuan EW3 sebesar 46,67% dan berbeda nyata dengan perlakuan  EW1, EW2 dan EW0 namun berbeda tidak nyata dengan perlakuan, EW4 dan EW5, Pada perlakuan kontrol tidak ada wereng pucuk mete yang mati.
    Pengamatan 24 jam setelah aplikasi perlakuan EW0 berbeda nyata dengan EW1, EW2, EW3, EW4 dan EW5. Sedangkan EW1 berbeda nyata dengan perlakuan EW2, EW3, EW4 dan EW5 namun EW2 berbeda tidak nyata dengan EW3, EW4 dan EW5.
    Pengamatan 36 jam setelah aplikasi perlakuan EW0 berbeda nyata dengan perlakuan EW1, EW2, EW3, EW4 dan EW5. Sedangkan EW1 berbeda nyata dengan perlakuan EW2, EW3, EW4 dan EW5 namun  EW2 berbeda tidak nyata dengan perlakuan EW3, EW4, dan EW5.
    Pengamatan 48 jam setelah aplikasi perlakuan EW0 berbeda nyata dengan perlakuan EW1, EW2, EW3, EW4 dan EW5 sedangkan EW1 berbeda tidak nyata dengan perlakuan EW2, EW3, EW4 dan EW5.

B.    Pembahasan
    Berdasarkan penelitian yang dilakukan di laboratorium, tampak bahwa ekstrak wijen efektif dapat mematikan wereng pucuk mete  (S. indeecora). Pada pengamatan 12 jam setelah aplikasi, ekstrak wijen EW3 menyebabkan mortalitas wereng pucuk mete sebesar 46,67 %. Hal tersebut diduga karena disebabkan senyawa bioaktif yang terdapat pada ekstrak wijen, berpengaruh buruk terhadap tubuh wereng pucuk mete karena senyawa bioaktif  tersebut masuk ke dalam tubuh wereng pucuk mete yang akan mengakibatkan gangguan pada sistem saraf. Menurut pendapat Rukmana (1998) bahwa minyak wijen mengandung sesamin yang berguna untuk meningkatkan daya bunuh insektisida.
    Gejala yang nampak pada wereng purcuk mete yang telah diperlakukan dengan ekstrak wijen dalam selang beberapa saat menampakkan gejala gelisah, terbang dalam keadaan kalut, tidak hinggap pada daun jambu mete. Hal ini disebabkan karena ekstrak wijen diduga bekerja sebagai racun kontak dan racun perut. Sesuai dengan pendapat Rahayu dan Rahman (1996), bahwa keracunan serangga biasanya tampak setelah selang waktu tertentu setelah aplikasi. Periode kekalutan biasanya dapat dikenali dengan adanya serangga  yang berlarian atau berterbangan dalam keadaan kalut.
    Pada pengamatan 24 dan 36 jam setelah aplikasi terjadi penambahan jumlah mortalitas S. indecora pada tiap perlakuan. Hal ini disebabkan karena jambu mete yang telah disemprot dengan ekstrak  masih memiliki bau, dimana pada umumnya ekstrak wijen mempunyai aroma yang sangat tajam, sehingga mempengaruhi sistem pernapasan wereng pucuk mete dan  menghambat masuknya oksigen didalam tubuh. Hal ini sesuai dengan pendapat Mangoendiharjo (1978), bahwa hama membutuhkan oksigen dari udara untuk pernafasan.
    Pengamatan 48 jam setelah aplikasi daya racun yang dikandung ekstrak wijen masih efektif membunuh wereng pucuk mete, hal ini dapat dilihat dari seluruh perlakuan menunjukkan mortalitas 100 %. Ekstrak wijen yang digunakan selama pengamatan masih bersifat toksik dimana racun yang ada dalam ekstrak wijen masih tetap ada.
    Berdasarkan hasil pengamatan bahwa semua perlakuan dengan menggunakan ekstrak wijen dapat mematikan wereng pucuk mete (S. indecora). Namun pada perlakuan EW2 (ekstrak wijen 0,5 mg/10 cc air) cukup efektif mematikan wereng pucuk mete, hal ini terbukti  pada waktu 36 jam setelah aplikasi menyebabkan  mortalitas wereng  pucuk mete mencapai 96,67%, karena pada perlakuan EW2 memiliki konsentrasi rendah dan waktu mematikan wereng pucuk mete lebih singkat.  Dengan demikian, menunjukan bahwa ekstrak wijen dapat dijadikan sebagai pestisida nabati dalam mengendalikan wereng pucuk mete (S. indecora).


V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
    Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.    Perlakuan ekstrak wijen 0,5 mg/10 cc air efektif  menyebabkan mortalitas wereng pucuk mete  sebesar 96,67 % pada pengamatan 36 jam setelah aplikasi (JSA).
2.    Ekstrak wijen dapat digunakan sebagai pestisida nabati  dalam mengendalikan  wereng pucuk mete  (S. indecora).

5.2. Saran
    Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui :
1.    Uji nimfa, imago Sanurus indecora pada bibit jambu mete yang disungkup.
2.    Efektifitas penggunaan ekstrak wijen dalam mengendalikan wereng pucuk mete (S. indecora) di lapangan.
3.    Efektifitas ekstrak daun wijen dalam mengendalikan wereng pucuk mete (S. indecora).


DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2009. Penurun /0302/24/OPINI/144253.htm. (Diakses pada hari Senin, tanggal 03 Januari 2010 pukul 16.30 Wita).

Anonim. 2009. Wijen. http://id.wikipedia.org/wiki/Wijen. Kolesterol yang Bikin Gurih. http://www2.kompas. com/kompas-cetak. (Diakses pada hari kamis tanggal 28 Oktober 20010  pukul 08.00 Wita).

Anonim, 1994.   Pedoman  Pengendalian  Pestisida  Botani. Departemen Pertanian Direktorat Jendral Perkebunan. Jakarta.

BPS, 2007. Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Tenggara. Kendari.

Cahyono B., 2001. Jambu Mete Tekhnik Budidaya dan Analisis Usaha Tani.   Penerbit Kanisus. Yogyakarta.

Ditjenbun, 2005. Road Map Komoditi Jambu Mete 2006-2025. Direktorat Jenderal Perkebunan, Departemen Pertanian.

Djaurijah, N. M dan D. Mahedalswara. 1994. Jambu Mete dan Pembudidayaannya. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Gumira, 2008. Kandungan Gizi Wijen. Akses Selasa, 12 Oktober 2010. Pukul 11.30 Wita. http://qashmirindonesia.site50.net/Wijen%20KandunganGizi.html

Handajani, Sri., (2006), “Potensi Agribisnis Komoditas Wijen”, Penerbit Andi, Yogyakarta.

Hembing W., 2009. Akses hari senin, tanggal 03 Januari 2011. Pukul 16.30 Wita. http://www.suaramedia.com/gaya-hidup/makanan/23608-khasiat-wijen-cegah-stroke-dan-penuaan-tingkatkan-kecerdasan-.html

Kardinan, A., 1999.  Pestisida  Nabati, Ramuan dan Aplikasinya.  Penebar  Swadaya. Jakarta.

Mardiningsih, T.L., A.M. Amir, I.M. Trisawa, dan I.G.N.R. Purnayasa., 2004.    Bioekologi  dan  Pengaruh Serangan   Sanurus  indecora Terhadap Kehilangan Hasil Jambu Mete. Jurnal Penelitian Tanaman Industri 10(3): 112-117.

Prihatman K., 2000. Budidaya Jambu Mete ( Anacardium occidentale L. ). Sistim Informasi Manajemen Pembangunan di Pedesaan, BAPPENAS. Jakarta.

Rahman A, FA Talukder. 2006. Bioefficacy dari beberapa turunan tanaman yang melindungi butir terhadap kumbang pulsa, Callosobruchus maculatus.

Rahayu dan Rahman, 1996. Penuntun Praktikum Pestisida dan Alat Aplikasinya. Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo. Kendari.

Rukmana, R., 1998. Budidaya Wijen. Penerbit Kanisus. Yogyakarta.

Siswanto, Supriadi, E.A.Wikardi, Wahyuno, Wiratno, Tombe dan E. Karmawati. 2002. Hama dan Penyakit Utama Tanaman jambu Mete serta Faktor-Faktor  yang  Mempengaruhi   Perkembangannya.   Booklet Bagian   Proyek Penelitian PHT Perkebunan Rakyat. Bogor. 48 hlm.

Waenasari. 1995. Gadung manfaat dan bahayanya. Dalam skripsi “Pengaruh Cairan perasan Umbi Gadung Terhadap Moralitas Kutu Dompolan Putih Pada Tanaman Jeruk” Oleh Wa Ode Siti Anima Hisein. Unhalu. Kendari.

Wiratno, Siswanto., 2003. Identifikasi Wereng Pucuk Jambu Mete, Sanurus indecora dan Beberapa Aspek Biologinya. Jurnal  Penelitian  Tanaman  Industri 9(4): 157-161.

Wiratno dan Siswanto, Mardiningsih dan Purnayasa, 2002. Serangan Lawana sp. (Homoptera:Flatidae) pada Tanaman Jambu Mete (Anacardium occidentale). Prosiding Seminar Nasional III. Pengelolaan Serangga yang Bijaksana Menuju Optimasi Produksi, Bogor 6 November 2001. Perlindungan Entomologi Indonesia Cabang Bogor. Hlm 165-170.

Vatardoost H, Vaziril V.M., 2004. Larvacidal Activity of a Neem tree Extract Agaerist Mosquito Larvae in the Islamic Republic of Iran. Eastern. Medditerranean Health journal, Vol 10, Bos 4/5, 2004 579.


Lampiran 1. Denah Penelitian di Laboratorium           
              U
EW1.3    EW4.1    EW3.1    EW5.3    EW4.1    EW5.2
EW1.1    EW2.1    EW3.2    EW1.3    EW5.1    EW0.3
EW2.2    EW1.2    EW0.1    EW2.3    EW0.2    EW4.2


Keterangan:
    EW0    =  Kontrol
    EW1    =  Ekstrak Wijen 0,01 mg/10 cc air                                   
    EW2    =  Ekstrak Wijen 0,05 mg/10 cc air
    EW3    =  Ekstrak Wijen 1,0 mg/l0 cc air
    EW4    =  Ekstrak Wijen 1,5 mg/10 cc air
    EW5    =  Ekstrak Wijen 2,0 mg/10 cc air


Lampira 2a. Rata-rata mortalitas S. indecora pada 12 Jam setelah aplikasi (JSA) ekstrak wijen


Pengamatan         Ulangan        Total    Rata-Rata
    1    2    3       
EW0    X     0,00         0,00      0,00    0,00     0,00
    Y     0,91         0,91       0,91    2,73     0,91
EW1    X    10,00    10,00    10,00    30,00    10,00
    Y    18,43    18,43    18,43    55,29    18,43
EW2    X    20,00    10,00    30,00    60,00    20,00
    Y    26,57    18,43    33,21    78,21    26,07
EW3    X    50,00    60,00    30,00     140,00    46,67
    Y    45,00    50,77    33,21     128,98    42,99
EW4    X    30,00    60,00    40,00     130,00    43,33
    Y    33,21    50,77    39,23    123,21    41,07
EW5    X    40,00    50,00    40,00    130,00    43,33
    Y    39,23    45,00    39,23    123,46    41,15

Lampiran 2b. Hasil sidik ragam mortalitas S. indecora pada 12 jam setelah  aplikasi (JSA) ekastrak wijen.


SK    DB    JK    KT    Nilai F    F Tabel
                    0,01    0,05
Perlakuan    5    4189,98    837,99    22,28**    3,11    5,06
Galat    12      451,26     37,60           
Total    17    4641,25               

KK     =   21, 56 %
Keterangan  :  **  =  berpengaruh sangat nyata


Lampiran 3a. Mortalitas S. indecora pada 24 jam setelah aplikasi (JSA) ekstrak wijen

Perlakuan        Ulangan        Total    Rata-Rata
    1    2    3       
EW0    X      0,00      0,00      0,00      0,00      0,00
    Y      0,91      0,91      0,91      2,73      0,91
EW1    X    50,00    10,00    30,00    90,00    30,00
    Y    45,00    18,43    33,21    96,64    32,21
EW2    X    80,00    60,00    90,00     230,00    76,67
    Y    63,43    50,77    71,57     185,77    61,92
EW3    X    90,00    90,00    70,00    250,00    83,33
    Y    71,57    71,57    56,79    199,93    66,64
EW4    X    60,00    90,00    90,00    240,00    80,00
    Y    50,77    71,57    71,57    193,91    64,63
EW5    X    70,00    90,00    90,00    250,00    83,33
    Y    56,79    71,57    71,57    199,93    66,64

Lampiran 3b. Hasil sidik ragam mortalitas S. indecora pada 24 jam setelah aplikasi (JSA) ekastrak wijen.

SK    DB    JK    KT    Nilai F    F Tabel
                    0,01    0,05
Perlakuan    5    10885,06    2177,01    22,24**    3,11    5,06
Galat    12      1153,88       96,15           
Total    17    12038,95               

KK     =   20,08 %

Keterangan :  **  =  berpengaruh sangat nyata

Lampiran 4a. Rata-rata mortalitas S. indecora pada 36 jam setelah aplikasi (JSA) ekstrak wijen

Perlakuan         Ulangan        Total    Rata-Rata
    1    2    3       
EW0    X      0,00      0,00         0,00      0,00     0,00
    Y      0,91      0,91      0,91      2,73     0,91
EW1    X    70,00    70,00    60,00      200,00    66,67
    Y    56,79    56,79    50,77      164,35    54,78
EW2    X    100,00    90,00     100,00      290,00    96,67
    Y    89,09    71,57    89,09    249,75    83,25
EW3    X    90,00     100,00    90,00    280,00    93,33
    Y    71,57    89,09    71,57    232,23    77,41
EW4    X    90,00     100,00     100,00    290,00    96,67
    Y    71,57    89,09    89,09    249,75    83,25
EW5    X    100,00     100,00    90,00    290,00    96,67
    Y    89,09    89,09    71,57    255,75    85,25



Lampiran 4b. Hasil sidik ragam mortalitas S. indecora pada 36 jam setelah aplikasi (JSA) ekastrak wijen.


SK    DB    JK    KT    Nilai F    F Tabel
                    0,01    0,05
Perlakuan    5    16069,77    3213,95    45,77**    3,11    5,06
Galat    12       842,69       70,22           
Total    17    16912,46               

KK     =   13,13 %

Keterangan  :  **  =  berpengaruh sangat nyata

Lampiran 5a. Mortalitas S. indecora pada 48 jam setelah aplikasi (JSA) ekstrak wijen


Perlakuan    Ulangan    Total    Rata-Rata
    1    2    3       
EW0    X        0,00       0,00    0,00       0,00       0,00
    Y        0,91       0,91    0,91        2,73       0,91
EW1    X    100,00      100,00    100,00    300,00    100,00
    Y      89,09    89,09    89,09    267,27      89,09
EW2    X    100,00    100,00    100,00    300,00    100,00
    Y     89,09     89,09    89,09    267,27     89,09
EW3    X    100,00    100,00    100,00    300,00        100,00
    Y    89,09    89,09    89,09    267,27     89,09
EW4    X    100,00    100,00    100,00    300,00        100,00
    Y    89,09    89,09    89,09    267,27     89,09
EW5    X    100,00    100,00    100,00    300,00        100,00
    Y    89,09    89,09    89,09    267,27     89,09

        
c)     Pragmatis (Charles.S. Pierce, 1839 -1914)
Suatu pemyataan benar diukur dengan kriteria apakah pemyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis. Konsekuensi dari pernyataan tersebut mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan manusia. Sekiranya ada orang mengatakan teori X dalam pendidikan kedokteran, dan dengan teori X tersebut dikembangkan teknik Y dalam meningkatkan kemampuan belajar, dan ternyata secara ilmiah dibuktikan bahwa teknik Y dapat meningkatkan kemampuan belajar, maka teori X dianggap benar, sebab teori X ini adalah fungsional dan mempunyai kegunaan.


KONFLIK NELAYAN

OPINI   )
Oleh
ISMAYANTI

A.    Lokasi konflik :
       Lokasi konflik terjadi di daerah Banyuwangi Kabupaten Banyuwangi Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Merupakan masalah nelayan dari masyarakat Muncar yakni antara nelayan Purse seine lokal dengan andon.
B.    Jenis dan pembahasan konflik yang terjadi dapat dilihat sebagai berikut :
 Jenis Konflik : Konflik Historikal

      Pengenalan pemakaian alat tangkap purse seine di daerah Banyuwangi pada tahun 2006, hampir semua nelayan menolak alat tangkap ikan jenis ini. Hingga akhirnya ada beberapa tokoh masyarakat yang berani menggunakan dan berhasil. Lalu lambat laun penggunaan alat payang kecil mulai bergeser pada penggunaan purse seine. Sehingga upaya penyadaran yang dapat dilakukan adalah dengan cara melibatkan tokoh masyarakat yang berpengaruh dan memiliki pikiran terbuka terhadap hal baru menuju perkembangan yang lebih baik.
       Masalah konflik nelayan di Muncar sebenarnya adalah sebab, dari dan oleh masyarakat Muncar sendiri. Nelayan andon di sana itu sebagian besar didatangkan oleh para pemilik modal dari muncar sendiri, jadi mereka juga bisa diposisikan sebagai pengambeg. Dari penjelasan ini ada dugaan bahwa konflik itu sengaja ditimbulkan agar bisnis jual beli ikan di Muncar bisa dikuasai oleh orang Muncar. Hal itu juga diperkuat oleh penjelasan beberapa orang yang pernah diwawancarai. Intensitas konflik itu sendiri lebih terasa pada tingkatan juragan yang ada di muncar. Jadi nelayan andon bisa dikatakan sebagai korban persaingan bisnis penangkapan ikan di daerah Muncar.
       Konflik di Muncar (antara nelayan Purse seine lokal dengan andon) sudah dimulai sejak dulu. Kemudian memanas sekitar tahun 1998 hingga tahun 2002. Kemudian mencapai puncak pada tahun 2003, 2004 hingga tahun 2007 namun hal ini kemudian mulai reda pada awal tahun 2006, yaitu pada saat peristiwa pembakaran kapal nelayan andon tahun 2006. Pihak Dinas Kelautan dan Perikanan antar Kabupaten terus mengadakan koordinasi guna menyelesaikan masalah konflik tersebut. Kesepakatan aturan untuk menghindari konflik itu sebenarnya sejak awal sudah berulang kali dibuat, tapi hal itu hanya meredam konflik untuk sementara atau bisa dikatakan hanya bersifat temporer. Hal ini dikarenakan yang mengundang nelayan itu sebenarnya adalah nelayan Muncar sendiri. Sedangkan pihak-pihak yang dipandang bisa menengahi konflik biasanya adalah tokoh masyarakat yang juga punya alat tangkap purse seine. Inti dari masalah konflik adalah kecemburuan terhadap hasil tangkapan yang berbeda.
Sebenarnya jika nelayan lokal dan andon sama-sama mendapatkan hasil, hal tersebut tidak menjadikan masalah. Akan tetapi jika nelayan andon dapat tetapi nelayan lokal tidak mendapatkan hasil maka hal tersebut bisa menimbulkan konflik. Jadi, ada pemikiran bahwa apa sebenarnya memang ada nelayan andon apa tidak? Istilah nelayan andon sebenarnya hanya untuk menyatakan seseorang atau beberapa orang nelayan yang ada dan beroperasi di suatu daerah dan daerah tersebut bukan merupakan tempat tinggalnya atau bukan merupakan tempat asli nelayan tersebut. Sebenarnya istilah tersebut tidak perlu ada karena nelayan di Indonesia semestinya berhak menangkap ikan dimana saja sesuai dengan ijinnya dan harus sesuai dengan aturan yang berlaku. Lalu, jika memang ada nelayan andon, kenapa kapal-kapal perusahaan penangkap ikan dari Jakarta yang menangkap ikan di Wilayah Indonesia Bagian Timur tidak disebut dengan nelayan andon atau kapal andon? Bukankah itu mestinya sama?. Oleh karena itu sebaiknya istilah tersebut ditiadakan dan yang ada hanyalah kata “nelayan” saja.
C. Solusi dari konflik yang terjadi dapat dilihat sebagai berikut :
Pada dasarnya konflik terjadi karena masalah kecemburuan sosial dan ekonomi. Kita lihat saja, nelayan andon dari sisi SDM lebih baik daripada nelayan lokal karena sifat nelayan pantai utara yang lebih bisa menerima alih teknologi dan lebih tekun dalam usaha menangkap ikan. Lihat saja bahwa nelayan Tuban dan Lamongan akan mengumpulkan hasil tangkapan meskipun sedikit tetapi dikumpulkan dan terus beroperasi sampai palkah penuh. Ini berbesa dengan nelayan Muncar yang tidak menangkap ikan pada saat dilihat gerombolan ikan hanya sedikit dan mereka justru pulang lagi ke base camp. Tentu saja sikap ini didukung oleh kondisi perairan yang jaraknya tidak jauh dari tempat pangkalan mereka.
      Dengan adanya konflik tersebut, sebenarnya pemerintah daerah dan pemerintah propinsi dan pemerintah pusat seharusnya tanggap dan melakukan upaya-upaya konstruktif untuk membangun kondisi yang lebih kondusif. Upaya pembinaan nelayan juga harus dilakukan berkesinambungan dan terus menerus dengan melibatkan penyuluh dan petugas teknis lapangan. Melalui penyuluhan inilah diharapkan agar nelayan lokal dapat mengadopsi sisi teknologi dan ketekunan nelayan andon dalam usaha menangkap ikan. Apapun yang terjadi, jika nelayan Muncar tidak mengadopsi teknologi, mereka pasti akan ketinggalan dan akhirnya akan berlaku hukum alam. Pelan-pelan namun pasti, siapapun yang tidak bisa menyerap ilmu dan teknologi, mereka akan tertinggal dan tenggelam dalam ketidakberdayaan.
Implementasi otonomi wilayah laut terhadap kegiatan usaha penangkapan ikan telah membawa dampak perubahan pola pikir masyarakat dari pola kemajemukan dan nasionalis menjadi sosok masyarakat yeng kental akan kedaerahan, meningkatnya ego dan aroganisme daerah sehubungan dengan pemahaman otonomi wilayah laut yang kurang tepat. Dalam implementasi aspek hukum kegiatan usaha dan perijinan penangkapan ikan terjadi tumpang tindih antara kepentingan pusat dan propinsi sebagai pihak pusat dan kepentingan daerah kabupaten, dimana perijinan untuk penangkapan terbagi-bagi dalam batas wilayah laut dari surut terndah ke arah laut sedangkan pelaksanaan kegiatan usaha penangkapan ikan di laut tidak bisa dibatasi oleh peraturan yang ada di suatu daerah.
      Pelaksanaan penerapan hukum pada pelanggaran penangkapan ikan (ilegal fishing) didasarkan secara nasional tanpa melihat aspek unsur daerah. Pada akhirnya perda yang ada di kabupaten sering bertentangan dengan peraturan yang tinggi dan berlaku secara nasional.
Peraturan perundang-undangan yang selama ini mengatur pengelolaan kawasan pesisir dan lautan untuk digunakan sebagai landasan perumusan sistem pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan secara terpadu dengan melibatkan peran masyarakat, termasuk pemerintah daerah. Demikian juga perlu sikap tegas dan konsekuen aparat dan pengambilk kebijakan masalah pengelolaan usaha penangkapan ikan untuk membatasi ijin usaha penangkapan ikan berdasarkan jumlah tangkapan yang diperbolehkan. Untuk lebih memberi efek jera dalam mengantisipasi melebarnya konflik, penyelesaian konflik nelayan sebaiknya diselesaikan secara hukum dengan memperhatikan kondisi sistem penangkapan ikan yang ada di daerah yang meliputi luas perairan dan perbatasan dengan daerah lain, budaya masyarakat serta status pelanggaran.

KEINDAHAN PULAU JAWA DI YOGYAKARTA TEMPO DULU


Diposkan oleh pulau-pulau terindah di Indonesiadi 04:570 komentar
Rabu, 13 Januari 2010
Pulau Bali

       Bali merupakan Pulau yang dikenal dengan sebutan Pulau Dewata.Bali banyak menyimpan pesona alam yang eksotis.Banyak wisatawan baik itu dalam dan luar negeri.Keindahan pantainya banyak disejajarkan dengan keindahan pantai di Pulau Hawaii.Menurut survey baru baru ini, Bali merupakan tempat favorit wisatawan kedua di dunia untuk memanfaatkan waktu luangnya.Berikut merupakan objek-objek wisata yang ada di Pulau Bali.

Pantai Kuta
       Pantai Kuta adalah sebuah tempat pariwisata yang terletak di sebelah selatan Denpasar, ibu kota Bali, Indonesia. Kuta terletak di kabupaten Badung.
Daerah ini merupakan sebuah destinasi turis mancanegara yang sangat termasyhur.Di Kuta sendiri banyak terdapat pertokoan, restoran dan tempat permandian serta menjemur diri.Pantai Kuta sering pula disebut sebagai Sunset Beach atau pantai matahari terbenam sebagai lawan dari pantai Sanur.
 
Pantai Sanur
       Pantai Sanur adalah sebuah tempat pelancongan pariwisata yang terkenal di pulau Bali. Tempat ini letaknya adalah persis di sebelah timur kota Denpasar, ibukota Bali. Sanur berada di kabupaten Badung.
Pantai Sanur terutama adalah lokasi untuk berselancar (surfing).Terutama ombak pantai Sanur sudah termasyhur di antara para wisatawan mancanegara. Tak jauh lepas Pantai Sanur terdapat juga lokasi wisata selam dan snorkeling. Oleh karena kondisinya yang ramah, lokasi selam ini dapat digunakan oleh para penyelam dari semua tingkatan keahlian.Pantai Sanur juga dikenal sebagai Sunrise beach (pantai matahari terbit) sebagai lawan dari Pantai Kuta.
 
Nusa Dua
       Nusa Dua, adalah sebuah tanjung yang terletak di selatan pulau Bali. Jaraknya kurang lebih 40 kilometer dari ibukota Denpasar.
Di daerah yang terdiri dari batu-batu karang gamping ini, banyak terdapat tempat wisata, seperti pantai Jimbaran dan Garuda Wisnu Kencana.
   
Tanah Lot
       Tanah Lot adalah sebuah objek wisata di Bali, Indonesia. Di sini ada dua pura yang terletak di di atas batu besar.Satu terletak di atas bongkahan batu dan satunya terletak di atas tebing mirip dengan Pura Uluwatu.Pura Tanah Lot ini merupakan bagian dari pura Sad Kahyangan, yaitu pura-pura yang merupakan sendi-sendi pulau Bali.Pura Tanah Lot merupakan pura laut tempat pemujaan dewa-dewa penjaga laut.
 
Diposkan oleh pulau-pulau terindah di Indonesiadi 04:330 komentar
Pulau Komodo versi 2

       Satwa komodo adalah kadal dan reptil darat terbesar di dunia disebut dengan “Ora” oleh bahasa Manggarai.Komodo dapat beradaptasi dengan baik pada lingkungan yang sangat kejam dan memegang kedudukan tertinggi pada binatang pemangsa di pulau ini.
Satu-satunya tempat di dunia di mana dapat ditemukan komodo adalah di Taman Nasional Komodo dan bagian barat Flores. Kawasan ini merupakan bagian penting Indonesia di masa silam dan masa akan datang dan merupakan bagian yang tepat dari warisan dunia.
Satwa Komodo dapat mencapai ukuran maksimum 3 meter dan berat 90 kg. Secara ilmiah pertama kali dikenal tahun 1912 sebagai Varanus komodoensis.Diperkirakan 2.000 individu dewasa secara liar mendiami daerah ini, terbatas di pulau Komodo, Pulau Rinca dan P. Padar, dan pada daerah pantai tertentu di bagian barat Flores. Satwa Komodo, lebih suka pada semak di dataran rendah sebagai tempat berlindung dan savana sekitarnya untuk mencari makan, kadangkala juga ditemukan pada ketinggian antara 400-600 meter.
Kadal yang berpenampilan gemuk ini adalah sebagai predator dan sekaligus pemakan bangkai. Ora dewasa secara teratur menyerang dan membunuh rusa, babi hutan dan kerbau dan di Rinca juga terhadap kuda liar.Ora muda yang menetas pada bulan April dari telur yang diletakkan 8-9 bulan sebelumnya berkelompok hingga 20 per sarang, memangsa binatang kecil lainnya seperti toke, insek dan burung di mana ora kecil dapat menangkap dan memanjat pohon. Ora yang lebih tua terlalu berat untuk memanjat pohon.Ora makanannya tergantung hanya beberapa jenis saja, terutama rusa sehingga membuat sensitive hidupnya bila populasi binatang mangsa menurun.Ancaman terbesar terhadap ora adalah pemburu rusa yang memasuki kawasan melalui tempat yang terpencil menggunakan anjing pemburu, dan seringkali mengambil rusa dalam jumlah banyak dalam waktu singkat.
Terpisahkan dari binatang pemangsa lain membuat komodo berkembang dengan baik. Sementara itu pada tempat terisolasi itu pula membuat jenis ini pada keadaan bahaya.Ora mempunyai daerah jelajah sangat terbatas dibanding binatang predator lainnya di dunia.Oleh karena penyebarannya yang benar-benar terbatas dan konsekuensinya sensitive terhadap bencana lingkungan, telah menempatkan satwa ini pada kategori jenis-jenis dalam bahaya baik di Indonesia maupun di dunia.
Menempatkan satwa komodo pada daerah yang terlindungi pun tidak menjamin bahwa satwa komodo aman dari kepunahan. Dengan penjagaan yang berkesinambungan dan kesepakatan pelestarian untuk masa depan bagi satwa tersebut, bagaimanapun kita dapat membantu melestarikan satwa yang unik ini untuk generasi yang akan datang.
Yang Dapat Anda Lihat Atau Lakukan:
•    Memerhatikan tingkah laku para komodo; cara makan, berburu mangsa, cara jalan dll.
•    Mengagumi keanekaragaman satwa juga tetumbuhan di kepulauan komodo.
•    Berenang dan snorkeling di Pantai yang airnya jernih dan pasir yang kemerahan di tambah ribuan ikan dan karang birunya
•    Mengunjungi desa tradisional untuk melihat gaya hidup yang berbeda dari yang Anda.
•    Kebanyakan penduduk setempat hanya dapat berbicara dalam bahasa daerah dan bahasa Indonesia.
•    Ikutilah tur yang diadakan biro jasa untuk menghemat waktu, uang dan energi
•    Bawalah krim tabir matahari, pakaian yang nyaman, kacamata hitam, juga topi atau penutup kepala.
Bagi penyuka tempat wisata alam yang unik dan eksotis, bisa berkunjung ke Pulau Komodo di Manggarai Barat, Nusatenggara Timur.Di pulau ini wisatawan bisa melihat secara langsung hewan langka komodo.
Untuk bisa sampai ke kawasan ini, wisatawan bisa menggunakan dua angkutan.Jika ingin cepat sampai, bisa menyewa speedboat. Dengan harga tiket Rp 3 juta, pengunjung bisa menempuh perjalanan ke pulau selama 2,5 jam. Tapi kalau ingin lebih murah, bisa menggunakan kapal tradisional dari Pelabuhan Bajo dengan biaya sewa antara Rp 600 ribu hingga Rp 1,5 juta per hari. Waktu maksimal perjalanan sekitar 4,5 jam.
perjalanan bisa disaksikan pemandangan alam yang cantik. Di sekitar Flores, terdapat 60 pulau.Namun yang paling sering dikunjungi adalah Pulau Rinca dan Pulau Komodo.Tiket masuk ke kawasan wisata Komodo tidak begitu mahal.Untuk wisatawan mancanegara cukup membayar US$ 15.Sementara turis lokal dikenakan Rp 75 ribu.Harga ini berlaku selama tiga hari.
Untuk turis yang menyukai trekking, bisa melintasi kawasan ditemani seorang petugas.Di pulau ini, bisa ditemukan hewan langka komodo. Tetapi, binatang melata yang bernama latin varanus komodoensis ini jarang terlihat pada siang hari. Pasalnya, jika panas menyengat hewan ini cenderung berlindung di dalam liang atau rimbunan pohon.
Apabila ingin bermalam di pulau eksotis ini, disediakan penginapan yang memasang tarif antara Rp 50 ribu hingga Rp 65 ribu per malam.Tak hanya itu, pengunjung juga dapat menikmati pemandangan bawah laut dengan menyelam.Saat pulang, jangan lupa membawa oleh-oleh. Antara lain, kaos, topi, atau ukiran komodo yang bisa dibeli di pedagang cenderamata.

Diposkan oleh pulau-pulau terindah di Indonesiadi 04:121 komentar
Label: liburan
Pulau Lombok

       Bagi kamu yang sudah penat dengan segala keruwetan di ibukota, ingin mencari tempat berwisata selain pulau Bali, Lombok solusinya, pulau ini terletak di kepulauan Sunda Kecil atau Nusa Tenggara yang terpisahkan oleh Selat Lombok dari Bali di sebelat barat dan Selat Alas di sebelah timur dari Sumbawa.

      Pulau ini berbentuk bulat dengan semacam "ekor" di sisi barat daya yang panjangnya kurang lebih 70 km. Dengan luas 4.725 km (sedikit lebih kecil daripada Bali).Dengan ibukota Mataram, pulau Lombok dikenal juga sebagai Bali 20 tahun yang lalu.Pulau Lombok banyak diminati oleh para wisatawan yang mencari kedamaian dan ketenangan saat berlibur.
Selain letak geografis yang berdekatan dengan pulau Bali, kedua pulau ini hanya berjarak 35km, keduanya mempunyai perbedaan fisik dan kebudayaan yang sangat signifikan. Keindahan yang bisa kamu dapat di pulau Lombok antara lain, kemegahan Gunung Rinjani, keindahan air terjun Sendang Gila dan Tiu Kelep, pantai pasir putih dengan Air yang jernih dengan beraneka ragam coral dan budidaya Mutiaranya. Dengan kebudayaan Sasak yang unik serta keramahan penduduknya, pulau Lombok dapat dengan mudah menarik wisatawan dalam maupun luar negeri.

       Tujuan wisata lainnya yang bisa kamu kunjungi di pulau ini adalah pantai Senggigi sebagai tempat penginapan yang letaknya strategis di pesisir pantai, Senggigi hanya terletak sekitar 15 menit dari bandara Selaparang lalu pantai Mangsit, Senggigi bagian utara. Tanjung A'an kebanyakan orang menyebut pantai kedua setelah Hawai.Di sini kamu bisa beristirahat sambil mandi-mandi dan menikmati indahnya perbukitan.

       Pulau Lombok juga terkenal dengan Banyu Mulek" Pusat pembuatan Gerabah yang sangat terkenal. lalu juga ada Desa sukarare merupakan pusat tenun yang sangat terkenal dengan keindahan kain tenun yang dihasilkan dan terakhir Desa Adat Sasak, yang menurut cerita sudah ada sejak abad ke 14 dan merupakan cikal bakal suku Sasak.
Diposkan oleh pulau-pulau terindah di Indonesiadi 04:053 komentar
pulau komodo

       Bagi Anda yang gemar bepergian, Anda pasti tak ingin melewatkan objek wisata yang mengesankan di seluruh penjuru nusantara. Berpetualang ke pulau-pulau yang eksotis, menyelami birunya laut, dan bermandikan cahaya mentari akan membuat liburan Anda tak terlupakan. Bayangkan, Anda juga berkesempatan untuk melihat jejak-jejak kehidupan masa lalu yang terpelihara, sekaligus berperan serta menjaga kelestariannya.Anda dan keluarga tak hanya betah menikmati wisata alamnya, tetapi juga bangga menjadi bagian dari ragam keindahan Indonesia. Dan di sini, di Taman Nasional Pulau Komodo, Nusa Tenggara Timur, Anda akan mendapatkan semuanya.
       Pulau Komodo terletak di ujung paling barat Provinsi Nusa Tenggara Timur yang berbatasan dengan Provinsi Nusa Tenggara Barat.Tepatnya di Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Sejak tahun 1980, kawasan seluas 1.817 km2 ini dijadikan Taman Nasional oleh Pemerintah Indonesia, yang kemudian diakui UNESCO sebagai Situs Warisan Dunia pada 1986. Bersama dua pulau besar lainnya, yakni Pulau Rinca dan Padar, Pulau Komodo dan beberapa pulau kecil di sekitarnya terus dipelihara sebagai habitat asli reptil yang dijuluki “Komodo Dragon” ini.
Menyandang nama latin Varanus Komodoensis dan nama lokal “Ora”, kadal raksasa ini menurut cerita dipublikasikan pertama kali pada tahun 1912 di harian nasional Hindia Belanda. Peter A. Ouwens, direktur Museum Zoologi di Bogor adalah orang yang telah mengenalkan komodo kepada dunia lewat papernya itu. Semenjak itu, ekspedisi dan penelitian terhadap spesies langka ini terus dilakukan, bahkan dikabarkan sempat menginspirasi Film KingKong di tahun 1933.Menyadari perlunya perlindungan terhadap Komodo di tengah aktivitas manusia di habitat aslinya itu, pada tahun 1915 Pemerintah Belanda mengeluarkan larangan perburuan dan pembunuhan komodo.
http://aprasetyo.files.wordpress.com/2009/06/komodo1.jpgBerkat usaha pemerintah dan masyarakat lokal dalam menjaga kelestarian Taman Nasional, wisatawan yang datang kini dapat berkunjung dan melihat dari dekat kehidupan reptil purba ini.Dengan panjang tubuh 2-3 meter, komodo dapat memiliki berat hingga 70-100 kilogram.Hewan yang menyukai tempat panas dan kering ini hidup di habitat sabana atau hutan tropis pada ketinggian rendah.Jika malam tiba, komodo bersarang di lubang dengan dalam 1-3 meter sambil menjaga panas tubuhnya di malam hari. Sebagai karnivora yang berada di puncak rantai makanan, mangsa Komodo antara lain kambing, rusa, babi hutan, dan burung. Pada kondisi tertentu, Komodo dapat berperilaku kanibal dengan memangsa Komodo lainnya.Dengan mengandalkan indera penciuman pada lidahnya, komodo dapat mencium bangkai mangsanya hingga sejauh 9 kilometer.Gigitannya yang mengandung bisa dan bakteri yang mematikan, ditambah cakar depannya yang tajam merupakan senjata alaminya.Selain itu, komodo ternyata mampu berlari 20 kilometer per jam dalam jarak yang pendek, memanjat pohon, berenang, bahkan menyelam.
Layaknya reptil lain, komodo berkembang biak dengan bertelur. Walaupun demikian, penelitian membuktikan terdapat cara lain komodo melakukan regenerasi, yakni dengan cara partenogenesis. Cara ini memungkinkan komodo betina untuk menghasilkan telur tanpa dibuahi oleh jantan.Partenogenesis diduga telah menyelamatkan komodo dari kepunahan sejak ribuan tahun silam.Akan tetapi, kerusakan habitat, aktivitas vulkanis, gempa bumi, kebakaran, sampai perburuan gelap terindikasi telah mengakibatkan penurunan jumlah populasi komodo sampai taraf rentan terhadap kepunahan.Diperkirakan terdapat 4-5 ribu ekor komodo dengan keberadaan betina yang produktif hanya berjumlah ratusan.Kondisi demikian merupakan tantangan bagi usaha konservasi Taman Nasional Pulau Komodo.
Menikmati wisata Taman Nasional Pulau Komodo dengan mengamati kehidupan komodo dari dekat mungkin belum cukup bagi Anda.Bagi Anda yang hobi dengan olahraga air, Anda dapat mencoba melakukan penyelaman di perairan utara maupun selatan kepulauan ini.Perairan utara merupakan perairan hangat hasil pertemuan arus dari Laut Banda dan Flores.Sebaliknya, perairan selatan menawarkan perairan dingin dari arus Samudera Indonesia.Kombinasi kedua karakter perairan yang berbeda ini menghasilkan ekosistem bawah laut yang kaya.Berbagai macam jenis terumbu karang hidup subur dan menjadi tempat hidup sekian banyak spesies ikan sekaligus penyedia sistem penunjang kehidupan air laut.Banyak penyelam telah menyaksikan kehidupan bawah laut perairan pulau Komodo yang memesona, yang menyimpan berjuta potensi keanekaragaman hayati.
       Sebagai salah satu objek wisata andalan Indonesia, Pulau Komodo menyediakan akomodasi mulai dari pondokan yang didirikan masyarakat setempat sampai resort bertaraf internasional.Bagi wisatawan domestik, Anda dikenakan biaya tiket masuk sebesar Rp. 75.000, sedangkan wisatawan asing sebesar US$ 15. Untuk mencapai Pulau Komodo, Anda dapat melalui rute pesawat dari Kupang (ibukota Nusa Tenggara Timur-NTT) ke kota Ende di Pulau Flores. Berikutnya perjalanan dilanjutkan dengan minibus ke Labuhanbajo yang memakan waktu 10 jam. Dari Labuhanbajo, speedboat akan membawa Anda ke Pulau Komodo setelah menempuh penyeberangan selama 2 jam. Beberapa rute lainnya dapat Anda tempuh dengan penerbangan dari Bali sesuai maskapai penerbangan yang melayani tujuan ke NTT.Berbagai paket wisata yang ditawarkan agen wisata rasanya cukup menarik untuk dicoba bagi Anda yang baru pertama kali mendatangi Pulau Komodo ini.
Eco-wisata yang dicanangkan pemerintah terhadap Taman Nasional Pulau Komodo ini diharapkan mampu mendatangkan lebih banyak lagi wisatawan domestik / manca negara. Tidak hanya orang tua, bahkan anak-anak sekalipun tidak perlu takut untuk datang dan berkunjung ke sana. Dengan peraturan dan keamanan berwisata yang terjaga, manusia dan Komodo dapat hidup berdampingan dengan damai.Dan layaknya anak-anak, kecintaan mereka terhadap Komodo merupakan benih-benih yang dapat menumbuhkan kecintaan mereka pada kekayaan negeri dan sejarahnya. Nampaknya pesan inilah yang dulu di tahun 90-an pernah dibawakan dengan apik oleh Kak Seto lewat boneka Si Komo-nya. Lewat karakter Si Komo, Kak Seto membawa pesan pelestarian komodo ke hati dan pikiran anak-anak Indonesia, agar mereka bangga dengan kekayaan negerinya.
Jika demikian, sangat layak kiranya Taman Nasional Pulau Komodo diangkat menjadi salah satu dari 7          Keajaiban Alam (7 Wonders Of Nature), bersanding dengan beragam keajaiban dunia lainnya yang mengagumkan. Jejak-jejak kehidupan dunia purba telah menyajikan dirinya kepada manusia hari ini untuk becermin melihat sejarah dunia masa lalu.Kehidupan yang telah melewati ratusan, bahkan ribuan tahun.Lewat Taman Nasional Pulau Komodo ini, dunia hari ini memiliki warisan yang tak ternilai harganya untuk dilestarikan.
Diposkan oleh pulau-pulau terindah di Indonesiadi 02:371 komentar
Label: liburan
Beranda
Langgan: Entri (Atom)


GAJAH MADA LAHIR DAN MOKSA DI LIYA, WAKATOBI


OPINI | 01 April 2011 | 09:15 958  15  2 dari 2 Kompasianer menilai menarik
________________________________________
       Pulau Buton di wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara dalam catatan sejarah, pernah menjadi tempat pilihan perlindungan yang aman dari sejumlah bangsawan kerajaan ternama di Nusantara. Bahkan dalam penelusuran terakhir, ditemukan petunjuk dari sejumlah catatan dan bukti arkeolog, Pulau Wangiwangi yang dulunya masuk wilayah Buton dan kini menjadi Kabupaten Wakatobi justru tempat lahir dan moksanya Gajah Mada, Mahapatih Kerjaaan Majapahit yang terkenal dengan ‘Sumpah Palapa’ - Pemersatu Nusantara.

GAJAH MADA/Ft:informasibudayliya.blogspot.com

       Lembaga adat Forum Komunikasi (Forkom) Kabali yang dibentuk sejak 6 Desember 2009 di Kabupaten Kepulauan Wakatobi, kini begitu konsen mengumpulkan data dari berbagai sumber, bukti arkeolog, dan berupaya keras menjalin kerjasama dengan semua pihak terkait untuk membuka tabir emas adanya petunjuk perjalanan hidup Gajah Mada di Pulau Wangiwangi.
Sejarah nasional mencatat bagaimana Mahapatih Kerajaan Majapahit yang diperkirakan lahir pada tahun 1290 (Encarta Encylopedia) itu memiliki kemampuan strategi di medan perang serta kecerdasan berpikir untuk kemaslahatan kehidupan masyarakat yang luas di masanya. Tapi, dimana tempat wafat dan makamnya, hingga saat ini belum ada keterangan yang pasti.
Dari sejumlah catatan yang telah dihimpun Forkom Kabali, sekitar bulan Sya’ban 634 Hijriyah atau akhir tahun 1236 Masehi sebuah kapal layar Popanguna menggunakan simbol bendera Buncaha strep-strep warna Kuning Hitam merapat di Kamaru, wilayah pesisir arah utara timur laut Pulau Buton. Kapal tersebut memuat bangsawan bernama Simalaui dan Sibaana (bersaudara) dikawal seorang sakti mandraguna bernama Sijawangkati bersama puluhan pengawalnya, yang diperkirakan berasal dari Bumbu, negeri melayu Pariaman.
       Kedatangan mereka ke Pulau Buton diperkirakan lantaran terjadi pergolakan yang memaksa untuk meninggalkan tempat asalnya.Terbukti, setelah mereka membuat pemukiman di Kamaru, juga membangun sebuah perlindungan yang hingga kini dikenal dengan sebutan Benteng Wonco.Sijawangkati pun kemudian memohon diri untuk membuat pemukiman tersendiri di Wasuembu serta membuat Benteng Koncu di Wabula.

       Masjid Al-Mubaroq Keraton Liya/Ft:informasibudayaliya.blogspot.com
Syahdan, beberapa waktu kemudian datang lagi dua buah kapal yang diburitannya ditandai dengan kibaran bendera Davialo berwarna Merah Putih di Teluk Kalumpa, tak jauh dari tempat pendaratan Simalaui, Sibaana, dan Sijawangkati dan rombongannya.Sijawangkati dan Sitamanajo menyambut kedatangan mereka. Ternyata, kedua kapal tersebut membawa Raden Sibahtera, Raden Jatubun dan Lailan Mangrani yang kesemuanya merupakan anak dari Raja Kerajaan Majapahit, Raden Wijaya. Setiap kapal memuat sekitar 40 orang pengikut.
Singkat cerita, kehadiran para pendatang tersebut, selain berupaya menjalin keakraban dengan warga di sekitar Pulau Buton, juga di antara pendatang saling menguatkan persahabatan.Raden Sibahtera yang diangkat menjadi Raja Buton mempermaisurikan Wa Kaa Kaa (Mussarafatul Izzati Al Fahriy).Sedangkan Sijawangkati menyunting Lailan Mangrani (Putri Raden Wijaya).
Dari perkawinan Sijawangkati dengan Lailan Mangrani membuahkan keturunan 2 anak laki-laki dan 1 perempuan. Anak tertua lelaki itulah yang kemudian diberi nama Gajah Mada. Sejak kecil Gajah Mada telah memperlihatkan kecerdasan dan kesaktian.Ayahnya, Sijawangkati yang disebut-sebut keturunan wali di negeri Melayu terkenal memiliki ilmu-ilmu kesaktian sudah berupaya menurunkan ilmunya kepada Gajah Mada sejak berusia 7 tahun.Ketika berumur sekitar 15 tahun, Gajah Mada lalu dibawa oleh ibunya (Lailan Mangrani) menemui kakeknya Raden Wijaya di Pulau Jawa.
Tatkala Kerajaan Majapahit dipimpin Jayanegara (1309 - 1328 M) — anak Raden Wijaya dari perkawinan dengan Dara Petak dari Jambi, Sumatera, Gajah Mada pun tampil berperan membantu melawan pemberontakan yang muncul dari lingkungan kerajaan sendiri. Dia memimpin pasukan Bhayangkara bertugas menjaga keamanan raja dan keluarganya.
Dahsyatnya Pemberontakan Kuti (1319 M) yang dipelopori salah seorang pejabat Kerajaan Majapahit, sampai memaksa Raja Jayanagara, berikut istri Raden Wijaya dan putrinya Tribhuwanattunggadewi, Gayatri, Wiyat, dan Pradnya Paramita mengungsi ke Bedander. Akan tetapi berkat kecerdikan dan kepiawaian Gajah Mada, pemberontakan dapat diredam.Raja dan keluarganya pun aman untuk kembali bertahta ke istana.

       Tarian adat Liya di alun-alun masjid Keraton Liya/Ft:informasi budayaliya.blogspot.com
Pascaperistiwa tersebut Gajah Mada kemudian diangkat menjadi Menteri Wilayah (Patih) Majapahit, membawahi Daha dan Jenggala.Kepercayaan kepada Gajah Mada yang diberi gelar Pu Mada diperluas dengan kewenangan hingga Jenggala - Kediri yang meliputi Wurawan dan Madura.Setelah Mahapatih Kerajaan Majapahit Arya Tadah pensiun tahun 1329 M, kedudukannya digantikan oleh Gajah Mada.
Dari catatan yang dihimpun Forkom Kabali (www.informasibudayaliya.blogspot.com), ada yang menyebut Gajah Mada wafat 1364 akibat penghianatan Hayam Wuruk. Namun data lain yang dihimpun dengan sejumlah fakta pendukung, setelah Gajah Mada membaca gelagat pihak berkuasa di Kerajaan Majapahit tak lagi memberikan kepercayaan kepadanya, ia bersama sejumlah pengikut setianya melakukan pelayaran kembali ke tempat kelahirannya di wilayah kepulauan Wangiwangi, Buton.
Perjalanan pulang bersama rombongannya tersebut diperkirakan terjadi sekitar abad XIV, mendarat kembali di wilayah kepulauan Wangiwangi.Di pesisir pantai antara pelabuhan Sempo Liya dan Pulau Simpora terdapat Batu Parasasti yang dinamakan Batu Mada.Mahapatih Gajah Mada yang terkenal sebagai manusia memiliki banyak kesaktian tersebut kemudian memilih sebuah goa di wilayah Togo Mo’ori sebagai tempat Tapa Brata.Di dalam gowa di daratan Pulau Karang Wangiwangi yang bersambung ke laut lepas inilah diperkirakan Gajah Mada yang mengenggam cakram senjata andalannya lantas moksa (menghilang) dalam semedi.Sedangkan puluhan pengikutnya memilih sebuah gua di Batauga, Pulau Buton sebagai tempat semedi.Goa itu sampai sekarang masih dinamai sebagai Goa Mada di Kampung Mada Desa Masiri, Batauga.
      Himpunan informasi berkaitan dengan perjalanan hidup Gajah Mada yang kini mendapat perhatian dari Forkom Kabali tersebut, tentu saja, perlu mendapatkan apresiasi dari pemerintah, dan terutama dari para sejarawan dan antropolog dalam rangka penyempurnaan catatan Sejarah Nasional kita.
Selain mengenai perjalanan hidup Gajah Mada, kini Forkom Kabali yang memokuskan diri di bidang pelestarian nilai-nilai tradisi, sejarah dan budaya Keraton Liya di Kabupaten Wakatobi, juga telah menghimpun data jika Mahisa Cempaka (cucu dari pasangan Ken Arok dan Ken Dedes) merupakan Raja Liya (1259 - 1260). Gundukan batu yang ditinggikan (Ditondoi) yang ada di depan Masjid ‘Al Mubaraq’ Keraton Liya adalah makam Mahisa Cempaka yang pernah bersama Rangga Wuni memimipin pemerintahan di Kerajaan Singosari di Pulau Jawa.
Di bawah gundukan batu Ditindoi yang di sekelilingnya ditumbuhi banyak Pohon Cempaka (Kemboja) yang telah berusia sekitar 800 tahun, diperkirakan terdapat sekitar 5 anggota dinasti Ken Arok, selain Mahisa Cempaka yang dimakamkan disitu. Model penguburan satu liang terdiri atas beberapa anggota keluarga, hingga saat ini masih terus terjadi di wilayah Liya, Wangiwangi.
Fakta ini, tentu saja, kebenarannya akan memberikan nuansa baru terhadap gambaran hubungan dan dinamika pergerakan masyarakat kerajaan-kerajaan Nusantara di masa lalu. Batapa masyarakat dari Pulau Jawa sejak masa silam dengan sarana transportasi tradisional sudah dapat menjalin hubungan dengan warga di Kepulauan Wakatobi yang terhampar di Laut Banda, di arah tenggara Pulau Sulawesi. Dibandingkan saat ini, Presiden RI, SBY belum juga pernah berkunjung mememenuhi hasrat kerinduan banyak warga di kota atau kabupaten yang ada di sekitar Pulau Buton terhadap kehadiran Kepala Negara di wilayahnya.
Selain itu, berdasarkan himpunan informasi dan sejumlah bukti arkeolog, jauh sebelum dibangun Masjid ‘Al-Mubaraq’ Keraton Liya (1546 M), sudah ada sebuah masjid di wilayah Liya Togo dikenal dengan nama Masjid Togo Lamantanari. Masjid itu diperkirakan dibangun tahun 1238 M oleh 8 orang Persia dipimpin Haji Muhammad yang terhempas gelombang ke Pulau Wangiwangi setelah kapalnya remuk melabrak karang dalam pelayaran menuju Filipina. Tentu saja, ini merupakan masjid tertua di Indonesia, sudah ada sebelum agama Islam masuk ke Aceh pada abad XIII.Walaupun masjid sudah tiada, sampai hari ini, pada saat waktu shalat dhuhur dan masuk waktu shalat ashar setiap hari masih selalu terdengar suara kumandang azan dari sekitar lokasi masjid tua ini.
Kumandang azan yang sama sampai saat ini masih selalu terdengar dari sekitar makam H.Muhammad yang terletak di sekitar permandian Kohondao Liya Togo, Desa Woru, sekitar 800-an meter dari lokasi bekas masjid tua Togo Lamantanari.
Ada lima desa yang disebut dengan istilah ‘Liya Besar’, yakni Desa Liya Togo, Liya Bahari, Liya Mawi, Woru, dan Kapota (Bhs sanskrit, berarti Merpati Setia) di Pulau Wangiwangi yang kini menjadi bagian paling penting diperjuangkan oleh Lembaga Forkom Kabali untuk dijadikan sebagai Kawasan Desa Adat. Di dalamnya meliputi pelestarian Benteng Liya dengan perkampungan masyarakat adatnya yang meliputi luas hingga 20 km persegi.
      Terjalinnya hubungan antara raja-raja yang ada di Pulau Jawa dengan raja-raja khususnya yang ada di Liya dan sekitarnya pada masa lalu, salah satunya juga dapat dilihat dari sejumlah nama tempat yang banyak menggunakan bahasa sangsekerta (Sanskrit