Jumat, 23 Desember 2011

EKSTRAK WIJEN EFEKTIF MEMATIKAN WERENG PUCUK METE


SKRIPSI        
OLEH RAHMAN



I.    PENDAHULUAN
1.1.    Latar Belakang
        Tanaman jambu mete (Anacardium accidentale L.) merupakan salah satu komoditas perkebunan yang bernilai ekonomi tinggi, terutama di kawasan Timur Indonesia yang mempunyai periode curah hujan singkat (3-4 bulan). Tanaman ini tahan terhadap kekeringan serta banyak ditanam dan dikembangkan di daerah yang beriklim kering, diantaranya Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Maluku, dan Bali (Wahyuno, 2005).
        Produksi tanaman perkebunan di Sulawesi Tenggara pada tahun 2006 yang tertinggi adalah tanaman kakao mencapai 124.921 ton, kemudian tanaman jambu mete sebanyak 40.325 ton yang tersebar di seluruh wilayah kabupaten dan kota (BPS., 2007).
    Tanaman jambu mete merupakan komoditi ekspor yang banyak manfaatnya, mulai dari akar, batang, daun, dan buah, selain itu juga biji mete (kacang mete) dapat digoreng untuk makanan bergizi tinggi. Biji mete (kacang mete) mengandung fosfor (P) 0,48 %, kalsium (Ca) 0,048 %, besi (Fe) 5 mg/100 gr, vitamin B1 270 ± 380 u gr/100 gr, vitamin B2 190 u gr/100 gr. Buah mete semu dapat diolah menjadi beberapa bentuk olahan seperti sari buah mete, anggur mete, manisan kering, selai mete dan buah kalengan (Prihatman, 2000).
          Wilayah pasar jambu mete sangat luas baik di dalam maupun luar negeri. Indonesia pada saat ini belum mampu mensuplai kebutuhan jambu mete dunia. Pada era globalisasi dan pasar bebas yang saat ini berkembang pesat merupakan tantangan sekaligus  peluang bagi perkembangan komoditas jambu mete, karena sebagian produk jambu mete diekspor. Pada tahun 2004 ekspor jambu mete Indonesia 59.372 ton dengan nilai sebesar 58,2 juta dolar. Keunggulan dari pembudidayaan jambu mete merupakan komoditas utama untuk lahan marginal beriklim kering. Kondisi lingkungan demikian banyak ditemukan di Indonesia bagian timur, oleh karena itu jambu mete merupakan salah satu pilihan untuk dijadikan sebagai basis mengatasi kemiskinan di daerah (Djariujah dkk., 1994).
    Kondisi pertanaman jambu mete di lapang saat ini mengkhawatirkan akibat produktivitas yang makin menurun, dapat dilihat pada ukuran golondong buah yang makin mengecil  dan meningkatnya serangan hama dan penyakit, oleh karena itu untuk meningkatkan produktivitas pertanaman jambu mete rakyat, sekaligus menekan kerugian yang mungkin timbul akibat serangan hama, maka perlu dilakukan pengendalian.
    Upaya mengendalikan hama utama pada pertanaman jambu mete, petani biasanya menggunakan pestisida  sintetik, untuk menekan kehilangan hasil yang dapat timbul akibat serangan hama. Pestisida sintetik ini umumnya memiliki sifat residu dan berpotensi menimbulkan berbagai permasalahan lingkungan dan kehidupan dikemudian hari, untuk mengurangi potensi kerusakan lingkungan dan juga gangguan kesehatan pada manusia maka perlu dikembangkan pestisida nabati yang efektif  untuk mengendalikan hama.
    Penggunaan pestisida  nabati  dimaksudkan  bukan untuk meninggalkan penggunaan pestisida sintetik, tetapi hanya merupakan cara alternatif dengan tujuan agar petani tidak hanya bergantung kepada pestisida sintetik. Tujuan lainnya agar penggunaan pestisida sintetik dapat diminimalkan sehingga kerusakan yang diakibatkan juga dapat dikurangi (Kardinan, 1999).
    Beberapa dari jenis tumbuhan dapat dijadikan sebagai bahan pestisida nabati yang dapat digunakan untuk mengendalikan serangga hama tanaman atau nyamuk (Vatandoost dan Vaziril, 2004). Tanaman wijen merupakan salah satu tanaman diketahui memiliki potensi sebagai pestisida nabati.
    Berdasarkan hal tersebut, maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui efektivitas ekstrak wijen terhadap mortalitas wereng pucuk mete             (Sanurus indecora).

1.2.      Rumusan Masalah
    Berdasarkan uraian dari latar belakang di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini yaitu apakah ekstrak wijen efektif mematikan wereng pucuk  mete (S. indecora)?

1.3.    Tujuan dan Kegunaan
    Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas ekstrak wijen  dalam mematikan wereng pucuk mete (S. indecora).
    Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi, sumber bacaan serta sebagai pembanding untuk penelitian selanjutnya.

1.4.    Hipotesis
    Minimal ada satu perlakuan ekstrak wijen yang efektif dapat mematikan wereng pucuk mete (S. indecora).

II.    TINJAUAN PUSTAKA
2.1.    Tanaman Jambu Mete (Annacardium occidentale L.)
    Produk tanaman jambu mete adalah buahnya yang terdiri dari buah semu dan buah sejati atau biji mete gelondongan yang didalamnya terdapat kacang mete. Sampai saat ini bagian buah jambu mete yang memiliki nilai ekonomi tinggi baru berupa buah mete gelondong dengan biji metenya, sedangkan bagian-bagian lainya seperti daun, batang, dan akarnya belum dimanfaatkan sepenuhnya meskipun memilliki potensi ekonomi yang tinggi karena dapat menghasilkan zat (CNSL = Cashew Nut Shell Liquid) minyak ini dapat dipakai dalam industri dan digunakan sebagai bahan pengawet, misalnya untuk mengawetkan peralatan kayu dan jala penangkap ikan (Ahmad, 2009).
    Dalam sistematika tanaman, jambu mete dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
    Devisi     :  Spermatophyta
Subdivisi        :  Angiaspermae
Kelas    :  Dicotyledonae
Ordo    :  Sapindales
Famili    :  Anacardiaceae
Genus    :  Anacardium
    Spesies    :  Annacardium occidentale L. (Cahyono, 2001).
    Kulit kayu jambu mete mengandung cairan berwarna coklat. Apabila terkena udara, cairan tersebut berubah menjadi hitam. Cairan ini dapat digunakan untuk bahan tinta, bahan pencelup, atau bahan pewarna. Selain itu, kulit batang pohon jambu mete juga berkhasiat sebagai obat kumur atau obat sariawan. Batang pohon mete menghasilkan gum atau blendok untuk bahan perekat buku. Selain daya rekatnya baik, gum juga berfungsi sebagai anti ngengat yang sering menggerogoti buku. Akar jambu mete berkhasiat sebagai pencuci perut. Daun Jambu mete yang masih muda dimanfaatkan sebagai lalap, terutama di daerah Jawa Barat. Daun yang tua dapat digunakan untuk obat luka bakar         (Prihatman, 2000).

2.2.    Biologi Wereng Pucuk Mete (Sanurus indecora)
    Sanurus indecora (Homoptera : Flatidae) merupakan serangga polifag yang banyak menyerang tanaman semusim maupun tanaman tahunan. Salah satu hama penting tanaman jambu  mete selain   Helopeltis spp. adalah   wereng pucuk  (S. indecora),  yang  sebelumnya  dikenal  sebagai Lawana candida   (Siswanto dkk., 2003). 
    Klasifikasi S. indecora adalah sebagai berikut :
    Kingdom     : Animalia
    Phillum     : Arthropoda
    Kelas     : Insekta
    Ordo     : Homoptera
    Famili     : Flatidae
    Genus     : Sanurus
    Spesies           : Sanurus indecora, (Siswanto dkk., 2003).
    Imago S. indecora  menyerupai kupu-kupu. Tubuh dan tungkai berwarna kuning pucat, sedangkan warna  kepala dan sayap bervariasi yaitu putih, hijau pucat atau putih  kemerahan. Pada  kepala  terdapat sepasang mata majemuk berwarna coklat gelap. Panjang dari ujung kepala sampai ujung sayap sekitar 8 – 10 mm dan lebar sayap 3 – 4 mm. Saat hinggap, sayap menutup tubuh dengan posisi tegak ke bawah. Pada tegmen (sayap depan) kadang-kadang terlihat garis merah disepanjang tepinya. Tegmen, postclaval  membentuk sudut tegak lurus. Venasi tegmen banyak cross veins, vena anal membentuk huruf Y pada bagian ujung. Tibia tungkai belakang hanya mempunyai satu spina lateral. Carina pada frons 1 berbentuk U dan 1 membujur ditengah (Siswanto dkk., 2003).
    Telur S. indecora  diletakkan secara berkelompok 30 – 80 butir pada permukaan bawah daun, tangkai daun, dan atau tangkai pucuk, ditutupi lapisan lilin berwarna putih atau kuning.  Periode telur berlangsung 6 – 7 hari (Siswanto dkk,. 2003; Mardiningsih, 2004). Telur berwarna putih, lalu berubah menjadi coklat menjelang menetas. Telur berbentuk oval, panjang 0,95 – 1,09 mm dan lebar 0,37 – 0,47 mm. Nimfa berwarna krem dan tertutup tepung lilin berwarna putih. Nimfa dan imago tidak aktif  bergerak,  hanya meloncat. Kepadatan populasi  pada  satu  karangan  bunga      mencapai 80   ekor  atau  lebih (Siswanto dkk., 2003), Periode nimfa berlangsung 42 – 49 hari (Mardiningsih dkk., 2004).
    Sanurus indecora mulai menyerang tanaman jambu mete pada awal musim kemarau dan makin meningkat pada saat memasuki fase generatif. Pada musim berbunga, serangga menutupi tangkai bunga. Puncak populasi hama terjadi pada bulan Juli dan Agustus, saat tanaman mulai berbunga dan berbuah. Populasi menurun pada bulan Oktober bersamaan dengan berakhirnya fase generatif. Bekas keberadaan hama ini mulai dikenali dengan adanya embun jelaga pada permukaan daun bagian atas serta lapisan lilin dan kulit nimfa (eksuvia) yang ditinggalkan pada waktu nimfa berganti kulit (Wiratno dan Siswanto, 2002).

2.3.    Gejala Serangan Wereng Pucuk Mete (Sanurus indecora)
    Nimfa dan imago S. indecora menyerang tanaman dengan cara menusuk dan mengisap cairan tanaman. Pada pucuk dan tangkai bunga, bekas serangan berupa titik-titik hitam agak menonjol seperti bisul, yang bila dibelah akan terlihat tusukan tersebut mencapai floem dan xilem (Wiratno dkk., 2003), akibatnya aliran zat hara menuju bunga terganggu, ketika populasi tinggi, serangan S. indecora pada tangkai bunga yang diserang mengakibatkan bagian bunga tersebut mengering sehingga bunga gagal menjadi buah. Selain itu, permukaan daun banyak ditumbuhi cendawan jelaga karena adanya embun madu yang dihasilkan hama tersebut (Siswanto dkk., 2002).

2.4.     Kerugian Akibat Serangan Wereng Pucuk Mete
    Gelondong jambu mete yang sehat (tidak terserang) berbeda dengan yang terserang S. indecora. Gelondong sehat terlihat bersih, mengkilat, dan berukuran normal. Gelondong yang terserang umumnya juga berukuran normal, tetapi kotor, kusam dan lengket jika dipegang karena ditumbuhi embun jelaga. Akibatnya, harga gelondong tidak sehat lebih murah dari pada gelondong sehat dan dapat mencapai separuh dari harga yang normal (Wiratno dkk., 2003). Pada tanaman jambu mete yang pernah terserang S. indecora, persentase bunga menjadi buah lebih rendah dibandingkan dengan tanaman yang belum pernah terserang hama tersebut (Mardiningsih dkk., 2004 ).

2.5.    Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan S. indecora
2.5.1    Tanaman Inang
    Menurut Syamsumar dan Haryanto (2003), selain jambu mete,                S. indecora juga menyerang belimbing (Averrhoa carombola), sirsak (Annona muricatai), dan ceremai (Phyllanthusacidus).

2.5.2    Faktor Lingkungan    
    Populasi S.  indecora biasanya mulai berkembang pada bulan April/Mei, awal musim kemarau yaitu  menjelang musim pembungaan jambu mete, dimana daun muda dan pucuk serta kuncup bunga mulai banyak. Populasi serangga tersebut  mencapai  puncaknya pada puncak musim pembungaan yaitu pada sekitar  bulan Agustus/September. Populasi mulai menurun pada bulan November – Desember (Siswanto dkk., 2002).

2.6.    Strategi Pengendalian yang Dapat di Kembangkan
    2.6.1 Pengendalian Secara Fisik       
        Pengendalian dapat dilakukan secara fisik, apabila serangga Serangga pradewasa atau dewasa belum ditemukan maka upaya pengendalian dilakukan dengan mengamati keberadaan telurnya. Telur S. indecora  dapat ditemukan pada permukaan daun bagian  atas dan bawah serta pucuk. Telur diletakan secara berkelompok serta ditutupi lapisan lilin berwarna putih kekuningan. Telur yang baru diletakkan berwarna putih, kemudian berubah menjadi kuning kecoklatan saat akan menetas. 

2.6.3  Pengendalian Secara Kultur Teknis
        Pengendalian wereng pucuk (S. indecora) juga dapat dilakukan secara kultur teknis dengan tumpang sari antara tanaman jambu mete dan tanaman wijen. Pemilihan tanaman yang tepat, yang akan dibudidayakan secara polikultur dengan tanaman jambu mete merupakan metode yang paling hemat, murah dan dapat diaplikasikan oleh petani.  
        Beberapa tanaman yang dapat dijadikan sebagai tanaman tumpang sari  pada tanaman jambu mete antara lain tanaman wijen. Tanaman tersebut selama ini dikenal sebagai tanaman yang dibudidayakan secara luas di Sulawesi Tenggara, terutama di pulau-pulau kecil di Kabupaten Buton, Muna, Wakatobi Propinsi Sulawesi Tenggara, yang merupakan sentra penanaman jambu mete di Sulawesi Tenggara.  

2.6.2  Pengendalian Secara Hayati
        Cara pengendalian S. indecora menggunakan cendawan Synnematium sp, cendawan ini spesifik untuk S. indecora sehingga pengendalian dengan cendawan ini ramah lingkungan.
2.6.4  Pengendalian Secara Kimia   
    Pengendalian secara kimia dapat dilakuakan dengan menggunakan insektisida nabati dan insektisida sintetik (Wiratno dkk., 2003). Pengendalian dengan menggunakan insektisida nabati misalnya, Biji bengkuang (Pachyrrizus erosus) mengandung pachyrrizida yang termasuk dalam golongan rotenoid. Kandungan yang ada pada biji Bengkuang mampu meracuni perut hama ulat Plutella xylostella,  Setelah pachyrrizida terakumulasi dalam sistem pencernaan ulat, ulat akan mengalami kematian. Tanaman wijen adalah salah satu tanaman yang dapat dijadikan sebagai bahan pestisida nabati karena mengandung senyawa kimia yang diduga dapat menekan perkembangan serangga hama. 

2.7.     Wijen
        Wijen (Sesamum indicum) merupakan komoditas pertanian yang sangat potensial sebagai penghasil minyak nabati yang dibutuhkan dalam industri kosmetik, farmasi, makanan dan lain-lain. Biji wijen memiliki kandungan gizi yang tinggi dan berdampak positif bagi konsumennya (Handajani, 2006).
    Wijen terdapat di daerah di India, Tiongkok, Mesir, Turki, Sudan, serta Meksiko dan Venezuela. Akar tanaman ini bertipe akar tunggang dengan banyak akar cabang yang sering bersimbiosis dengan mikoriza VA (vesikular-arbuskular). Tanaman mendapat keuntungan dari simbiosis ini dalam memperoleh air dan hara dari tanah (Anonim, 2009).
    Biji wijen mengandung 50-53% minyak nabati, 20% protein, 7-8% serat kasar, 15% residu bebas nitrogen, dan 4,5-6,5% abu. Minyak biji wijen kaya akan asam lemak tak jenuh, khususnya asam oleat (C18:1) dan asam linoleat (C18:2, Omega-6), 8-10% asam lemak jenuh. Minyak biji wijen juga kaya akan Vitamin E (Gumira, 2008).
    Menurut Hembing (2009)  dalam bukunya Tumbuhan Berkhasiat Obat Indonesia, wijen berkhasiat mencegah kanker dan penuaan. Khasiat wijen didapat dari kandungan zat-zat kimia yang diketahui lewat sejumlah penelitian. Beberapa zat yang ada dalam wijen antara lain gliserida (asam oleat, linoleat, palmitat, stearat, miristinat), sesamin, sesamolin, sesamol, lignans, pedaliin, planteose, sitokrom C, protein, prantosa, vitamin A, B1, dan E. Wijen banyak kegunaannya diantaranya untuk pencegahan, pengobatan, dan perawatan. Untuk preventif wijen berkhasiat mencegah kerontokan rambut, penuaan, kanker, penyakit degeneratif, rambut beruban, stroke, hipertensi, dan lain-lain. Untuk pengobatan, wijen dimanfaatkan dalam mengatasi penyakit batuk, katarak, sakit perut-diare, sakit kepala, kencing nanah, kencing manis, sembelit, rematik, dan luka-luka.
    Menurut Rukmana (1998) bahwa biji wijen merupakan sumber makanan bergizi dan minyak nabati yang berguna bagi kesehatan tubuh. Selain itu, biji wijen amat dibutuhkan untuk bahan baku aneka industri, misalnya industri farmasi, kosmetika, pestisida dan peralatan listrik. Minyak wijen mengandung sesamin yang berguna untuk meningkatkan daya bunuh insektisida. Dalam kehidupan  sehari-hari, minyak wijen digunakan untuk minyak goreng yang dapat mempertahankan mutu (kualitas) makanan yang digoreng.
    Kedudukan tanaman wijen dalam sistematika (taksonomi) tumbuhan diklasifikasikan sebagai berikut :
    Kingdom     :  Plantae
    Divisi          :  Spermatophyta
    Sub divisi     :  Angiospermae
    Kelas     :  Dicotyledonae
    Ordo     :  Pedaliales
    Famili     :  Pedaliacea
    Genus     :  Sesanum
    Spesies     :  Sesanum indicum L., (Anonim, 2009).     
    Bentuk dan susunan tubuh luar (morfologi) tanaman wijen adalah sebagai berikut :
•    Tinggi bervariasi dari 60 cm hingga 120 cm, bahkan dapat mencapai 2-3 meter. Batangnya berkayu pada tanaman yang telah dewasa, kadang-kadang pada varietas tertentu, batang wijen berbulu menutup seluruh permukaan batang.
•    Daun berbentuk lidah memanjang, letak (susunan) daun berselang-seling. Berukuran panjang 3,0 cm – 17,5 cm dan lebar 1,0 cm – 7,0 cm, berwarna hijau muda sampai hijau tua.
•    Bunga wijen muncul dari ketiak-ketiak daun, berjumlah 1 – 3 kuntum/ketiak, berwarna putih atau ungu. Bunga berukuran panjang 2,5 cm – 3,0 cm dengan diameter 0,5 cm – 1,0 cm, dan benangsarinya menempel di dalam mahkota bunga. Sosok mahkota bunga berbentuk corong.
•    Buah wijen berbentuk polong. Ukuran polong, panjang 2,5 cm – 3,0 cm dengan berdiameter 0,5 cm – 1,0 cm, dan terdapat 4 – 8 kotak/polong sebagai tempat biji.
•    Biji wijen berukuran kecil, pipih, dengan bagian pangkal agak meruncing dan ujungnya tumpul.

                
(A)                                      (B)               
   
    Gambar 2.2. Buah Wijen (A) dan biji wijen (B).

III.     METODOLOGI PENELITIAN
3.1.    Waktu dan Tempat
    Penelitian dilaksanakan pada bulan November 2010 sampai Januari 2011. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo Kendari.
   
3.2.    Bahan dan Alat
    Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah biji wijen, wereng pucuk mete, bibit  mete segar umur  6 bulan, kapas, air, etanol 96 % dan daun jambu mete.
    Alat yang digunakan adalah stoples plastik berukuran diameter 12 cm dan  tinggi 9 cm, kain kasa, karet gelang, cawan petri, blender, gelas piala, pisau, timbangan, kuas, corong kaca, rotary evaporator,  kurungan serangga  dengan ukuran 60 cm x 60 cm x 80 cm dan alat tulis menulis.

3.3.    Metode Penelitian
3.3.1.    Persiapan Penelitian
    Serangga yang digunakan adalah S. indecora berupa telur, nimfa dan imago yang diperoleh dari tanaman jambu mete. Selanjutnya hasil koleksi           dikembangbiakkan di laboratorium. Wereng pucuk mete dibiakkan dengan memberikan pakan bibit jambu mete yang ditempatkan dalam kurungan serangga yang berukuran 60 cm x 60 cm x 80 cm.
    Telur yang dihasilkan oleh serangga betina (biasanya diletakkan pada permukaan bawah daun jambu mete) dipindahkan ke dalam stoples plastik yang lain dengan menyertakan daun dimana kelompok telur tersebut ditemukan. Nimfa yang muncul dipindahkan ke stoples yang lain dan dipelihara sampai menjadi imago  dalam jumlah besar yang siap dijadikan sebagai serangga uji.  

 
    Gambar 3.1. Kurungan S. indecora yang digunakan dalam penelitian.


3.3.2.    Pembuatan Ekstrak
    Pembuatan ekstrak dilakukan berdasarkan modifikasi metode Worth dan Morgan (1971) dalam Pujiastuti (1993) sebagai berikut :
    Bahan mentah berupa wijen dicuci bersih lalu dikeringkan dalam oven dengan  suhu  600C  sampai bahan tersebut kering, wijen  yang sudah kering diblender. Bahan yang telah dihaluskan diambil sebanyak 100 gram dan disimpan ke dalam gelas piala ditambah etanol 96 %, sebanyak 300 ml (perbandingan 1: 3 berat/volume). Bahan direndam selama 24 jam, lalu bahan disaring dengan menggunakan corong kaca kedalam labu penyaring, kemudian bahan  direndam  kembali  dengan  etanol 96 %,  ini  dilakukan sebanyak 3 kali (3 hari). Filtrat ditampung dalam labu penyaring. Selanjutnya filtrat diuapkan dengan rotary evaporator pada suhu 55⁰C sampai volume minimum konstan. Hasil filtrat yang telah dievaporasi diencerkan dengan air (aquades). 

3.3.3.    Tahap Pengujian
    Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri atas 6 perlakuan dan 3 ulangan, yaitu :
    EW0  = Kontrol
    EW1  = Ekstrak Wijen 0,1 mg/10 cc air                                   
    EW2  = Ekstrak Wijen 0,5 mg/10 cc air
    EW3  = Ekstrak Wijen 1,0 mg/l0 cc air
    EW4  = Ekstrak Wijen 1,5 mg/10 cc air
    EW5  = Ekstrak Wijen 2,0 mg/10 cc air

    Daun jambu mete yang telah disemprot dengan ekstrak sesuai dengan perlakuan dikering-anginkan lalu dimasukkan ke dalam stoples. Selanjutnya masing-masing stoples dimasukkan 10 ekor wereng pucuk mete dan ditutup dengan kain kasa.

3.3.4.    Pengamatan
    Pengamatan dilakukan dengan melihat  jumlah wereng pucuk mete yang mati pada 12, 24, 36 dan 48 jam setelah aplikasi (JAS). Persentase mortalitas dihitung dengan menggunakan rumus:



              A
 P  =               X 100 %
              B

Keterangan :                
    P  =  Persentase mortalitas
  A =  Jumlah wereng pucuk mete yang mati
    B =  Jumlah wereng pucuk mete yang diteliti

3.3.5.    Analisis Data
    Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan sidik ragam dan apabila hasil uji menunjukkan F hit > F Tabel maka dilanjutkan dengan uji Jarak Berganda Duncan (UJBD) pada taraf kepercayaan 95%.


IV.    HASIL DAN PEMBAHASAN
A.    Hasil Pengamatan
    Hasil pengamatan pengaruh konsentrasi ekstrak wijen terhadap mortalitas wereng pucuk mete (S. indecora) pada 12, 24, 36 dan 48 jam setelah aplikasi (JSA) masing-masing dapat dilihat pada lampiran 2a, 3a, 4a dan 5a, sedangkan hasil sidik ragam disajikan pada lampiran 2b, 3b, 4b dan 5b.
Tabel 4.1 Rata-rata mortalitas S. indecora  setelah  aplikasi ekstrak wijen pada  12, 24, 36 dan 48 jam setelah aplikasi (JSA).


Perlakuan    Mortalitas S. Indecora (%)
    Pengamatan Ke- (JSA)
    12       24       36       48  
Kontrol                            X                               0,00 c      0,00 c    0,00 c      0,00 b
                                        Y         0,91        0,91        0,91        0,91
EW 0,1 mg/10 cc air       X       10,00 b      30,00 b      66,67 b    100,00 a
                                        Y       18,43      32,21      54,78      89,09
EW 0,5 mg/10 cc air       X       20,00 b      76,67 a      96,67 a    100,00 a
                                        Y       26,07      61,92      83,25      89,09
EW 1,0 mg/l0 cc air        X       46,67 a      83,33 a      93,33 a    100,00 a
                                        Y       42,99      66,64      77,41      89,09
EW 1,5 mg/10 cc air       X       43,33 a      80,00 a      96,67 a    100,00 a
                                        Y       41,07      64,63      83,25      89,09
EW  2,0 mg/10 cc air      X       43,33 a      83,33 a      96,67 a    100,00 a
                                        Y       41,15      66,64      85,25      89,09
DMRT 5 %    2 = 10,90    2 = 17,44    2 = 15,01    2 = 0,00
    3 = 11,42    3 = 18,26    3 = 15,71    3 = 0,00
    4 = 11,72    4 = 18,72    4 = 16,13    4 = 0,00
    5 = 11,93    5 = 19,08    5 = 16,41    5 = 0,00
    6 = 12,07    6 = 19,31    6 = 16,61    6 = 0,00

Keterangan :   Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang  sama berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95%.
x = data asli
               y = data setelah transformasi arcsin


    Berdasarkan Tabel 4.1 menunjukkan bahwa,  pengamatan 12 jam setelah aplikasi mortalitas tertinggi terdapat pada perlakuan EW3 sebesar 46,67% dan berbeda nyata dengan perlakuan  EW1, EW2 dan EW0 namun berbeda tidak nyata dengan perlakuan, EW4 dan EW5, Pada perlakuan kontrol tidak ada wereng pucuk mete yang mati.
    Pengamatan 24 jam setelah aplikasi perlakuan EW0 berbeda nyata dengan EW1, EW2, EW3, EW4 dan EW5. Sedangkan EW1 berbeda nyata dengan perlakuan EW2, EW3, EW4 dan EW5 namun EW2 berbeda tidak nyata dengan EW3, EW4 dan EW5.
    Pengamatan 36 jam setelah aplikasi perlakuan EW0 berbeda nyata dengan perlakuan EW1, EW2, EW3, EW4 dan EW5. Sedangkan EW1 berbeda nyata dengan perlakuan EW2, EW3, EW4 dan EW5 namun  EW2 berbeda tidak nyata dengan perlakuan EW3, EW4, dan EW5.
    Pengamatan 48 jam setelah aplikasi perlakuan EW0 berbeda nyata dengan perlakuan EW1, EW2, EW3, EW4 dan EW5 sedangkan EW1 berbeda tidak nyata dengan perlakuan EW2, EW3, EW4 dan EW5.

B.    Pembahasan
    Berdasarkan penelitian yang dilakukan di laboratorium, tampak bahwa ekstrak wijen efektif dapat mematikan wereng pucuk mete  (S. indeecora). Pada pengamatan 12 jam setelah aplikasi, ekstrak wijen EW3 menyebabkan mortalitas wereng pucuk mete sebesar 46,67 %. Hal tersebut diduga karena disebabkan senyawa bioaktif yang terdapat pada ekstrak wijen, berpengaruh buruk terhadap tubuh wereng pucuk mete karena senyawa bioaktif  tersebut masuk ke dalam tubuh wereng pucuk mete yang akan mengakibatkan gangguan pada sistem saraf. Menurut pendapat Rukmana (1998) bahwa minyak wijen mengandung sesamin yang berguna untuk meningkatkan daya bunuh insektisida.
    Gejala yang nampak pada wereng purcuk mete yang telah diperlakukan dengan ekstrak wijen dalam selang beberapa saat menampakkan gejala gelisah, terbang dalam keadaan kalut, tidak hinggap pada daun jambu mete. Hal ini disebabkan karena ekstrak wijen diduga bekerja sebagai racun kontak dan racun perut. Sesuai dengan pendapat Rahayu dan Rahman (1996), bahwa keracunan serangga biasanya tampak setelah selang waktu tertentu setelah aplikasi. Periode kekalutan biasanya dapat dikenali dengan adanya serangga  yang berlarian atau berterbangan dalam keadaan kalut.
    Pada pengamatan 24 dan 36 jam setelah aplikasi terjadi penambahan jumlah mortalitas S. indecora pada tiap perlakuan. Hal ini disebabkan karena jambu mete yang telah disemprot dengan ekstrak  masih memiliki bau, dimana pada umumnya ekstrak wijen mempunyai aroma yang sangat tajam, sehingga mempengaruhi sistem pernapasan wereng pucuk mete dan  menghambat masuknya oksigen didalam tubuh. Hal ini sesuai dengan pendapat Mangoendiharjo (1978), bahwa hama membutuhkan oksigen dari udara untuk pernafasan.
    Pengamatan 48 jam setelah aplikasi daya racun yang dikandung ekstrak wijen masih efektif membunuh wereng pucuk mete, hal ini dapat dilihat dari seluruh perlakuan menunjukkan mortalitas 100 %. Ekstrak wijen yang digunakan selama pengamatan masih bersifat toksik dimana racun yang ada dalam ekstrak wijen masih tetap ada.
    Berdasarkan hasil pengamatan bahwa semua perlakuan dengan menggunakan ekstrak wijen dapat mematikan wereng pucuk mete (S. indecora). Namun pada perlakuan EW2 (ekstrak wijen 0,5 mg/10 cc air) cukup efektif mematikan wereng pucuk mete, hal ini terbukti  pada waktu 36 jam setelah aplikasi menyebabkan  mortalitas wereng  pucuk mete mencapai 96,67%, karena pada perlakuan EW2 memiliki konsentrasi rendah dan waktu mematikan wereng pucuk mete lebih singkat.  Dengan demikian, menunjukan bahwa ekstrak wijen dapat dijadikan sebagai pestisida nabati dalam mengendalikan wereng pucuk mete (S. indecora).


V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
    Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.    Perlakuan ekstrak wijen 0,5 mg/10 cc air efektif  menyebabkan mortalitas wereng pucuk mete  sebesar 96,67 % pada pengamatan 36 jam setelah aplikasi (JSA).
2.    Ekstrak wijen dapat digunakan sebagai pestisida nabati  dalam mengendalikan  wereng pucuk mete  (S. indecora).

5.2. Saran
    Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui :
1.    Uji nimfa, imago Sanurus indecora pada bibit jambu mete yang disungkup.
2.    Efektifitas penggunaan ekstrak wijen dalam mengendalikan wereng pucuk mete (S. indecora) di lapangan.
3.    Efektifitas ekstrak daun wijen dalam mengendalikan wereng pucuk mete (S. indecora).


DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2009. Penurun /0302/24/OPINI/144253.htm. (Diakses pada hari Senin, tanggal 03 Januari 2010 pukul 16.30 Wita).

Anonim. 2009. Wijen. http://id.wikipedia.org/wiki/Wijen. Kolesterol yang Bikin Gurih. http://www2.kompas. com/kompas-cetak. (Diakses pada hari kamis tanggal 28 Oktober 20010  pukul 08.00 Wita).

Anonim, 1994.   Pedoman  Pengendalian  Pestisida  Botani. Departemen Pertanian Direktorat Jendral Perkebunan. Jakarta.

BPS, 2007. Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Tenggara. Kendari.

Cahyono B., 2001. Jambu Mete Tekhnik Budidaya dan Analisis Usaha Tani.   Penerbit Kanisus. Yogyakarta.

Ditjenbun, 2005. Road Map Komoditi Jambu Mete 2006-2025. Direktorat Jenderal Perkebunan, Departemen Pertanian.

Djaurijah, N. M dan D. Mahedalswara. 1994. Jambu Mete dan Pembudidayaannya. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Gumira, 2008. Kandungan Gizi Wijen. Akses Selasa, 12 Oktober 2010. Pukul 11.30 Wita. http://qashmirindonesia.site50.net/Wijen%20KandunganGizi.html

Handajani, Sri., (2006), “Potensi Agribisnis Komoditas Wijen”, Penerbit Andi, Yogyakarta.

Hembing W., 2009. Akses hari senin, tanggal 03 Januari 2011. Pukul 16.30 Wita. http://www.suaramedia.com/gaya-hidup/makanan/23608-khasiat-wijen-cegah-stroke-dan-penuaan-tingkatkan-kecerdasan-.html

Kardinan, A., 1999.  Pestisida  Nabati, Ramuan dan Aplikasinya.  Penebar  Swadaya. Jakarta.

Mardiningsih, T.L., A.M. Amir, I.M. Trisawa, dan I.G.N.R. Purnayasa., 2004.    Bioekologi  dan  Pengaruh Serangan   Sanurus  indecora Terhadap Kehilangan Hasil Jambu Mete. Jurnal Penelitian Tanaman Industri 10(3): 112-117.

Prihatman K., 2000. Budidaya Jambu Mete ( Anacardium occidentale L. ). Sistim Informasi Manajemen Pembangunan di Pedesaan, BAPPENAS. Jakarta.

Rahman A, FA Talukder. 2006. Bioefficacy dari beberapa turunan tanaman yang melindungi butir terhadap kumbang pulsa, Callosobruchus maculatus.

Rahayu dan Rahman, 1996. Penuntun Praktikum Pestisida dan Alat Aplikasinya. Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo. Kendari.

Rukmana, R., 1998. Budidaya Wijen. Penerbit Kanisus. Yogyakarta.

Siswanto, Supriadi, E.A.Wikardi, Wahyuno, Wiratno, Tombe dan E. Karmawati. 2002. Hama dan Penyakit Utama Tanaman jambu Mete serta Faktor-Faktor  yang  Mempengaruhi   Perkembangannya.   Booklet Bagian   Proyek Penelitian PHT Perkebunan Rakyat. Bogor. 48 hlm.

Waenasari. 1995. Gadung manfaat dan bahayanya. Dalam skripsi “Pengaruh Cairan perasan Umbi Gadung Terhadap Moralitas Kutu Dompolan Putih Pada Tanaman Jeruk” Oleh Wa Ode Siti Anima Hisein. Unhalu. Kendari.

Wiratno, Siswanto., 2003. Identifikasi Wereng Pucuk Jambu Mete, Sanurus indecora dan Beberapa Aspek Biologinya. Jurnal  Penelitian  Tanaman  Industri 9(4): 157-161.

Wiratno dan Siswanto, Mardiningsih dan Purnayasa, 2002. Serangan Lawana sp. (Homoptera:Flatidae) pada Tanaman Jambu Mete (Anacardium occidentale). Prosiding Seminar Nasional III. Pengelolaan Serangga yang Bijaksana Menuju Optimasi Produksi, Bogor 6 November 2001. Perlindungan Entomologi Indonesia Cabang Bogor. Hlm 165-170.

Vatardoost H, Vaziril V.M., 2004. Larvacidal Activity of a Neem tree Extract Agaerist Mosquito Larvae in the Islamic Republic of Iran. Eastern. Medditerranean Health journal, Vol 10, Bos 4/5, 2004 579.


Lampiran 1. Denah Penelitian di Laboratorium           
              U
EW1.3    EW4.1    EW3.1    EW5.3    EW4.1    EW5.2
EW1.1    EW2.1    EW3.2    EW1.3    EW5.1    EW0.3
EW2.2    EW1.2    EW0.1    EW2.3    EW0.2    EW4.2


Keterangan:
    EW0    =  Kontrol
    EW1    =  Ekstrak Wijen 0,01 mg/10 cc air                                   
    EW2    =  Ekstrak Wijen 0,05 mg/10 cc air
    EW3    =  Ekstrak Wijen 1,0 mg/l0 cc air
    EW4    =  Ekstrak Wijen 1,5 mg/10 cc air
    EW5    =  Ekstrak Wijen 2,0 mg/10 cc air


Lampira 2a. Rata-rata mortalitas S. indecora pada 12 Jam setelah aplikasi (JSA) ekstrak wijen


Pengamatan         Ulangan        Total    Rata-Rata
    1    2    3       
EW0    X     0,00         0,00      0,00    0,00     0,00
    Y     0,91         0,91       0,91    2,73     0,91
EW1    X    10,00    10,00    10,00    30,00    10,00
    Y    18,43    18,43    18,43    55,29    18,43
EW2    X    20,00    10,00    30,00    60,00    20,00
    Y    26,57    18,43    33,21    78,21    26,07
EW3    X    50,00    60,00    30,00     140,00    46,67
    Y    45,00    50,77    33,21     128,98    42,99
EW4    X    30,00    60,00    40,00     130,00    43,33
    Y    33,21    50,77    39,23    123,21    41,07
EW5    X    40,00    50,00    40,00    130,00    43,33
    Y    39,23    45,00    39,23    123,46    41,15

Lampiran 2b. Hasil sidik ragam mortalitas S. indecora pada 12 jam setelah  aplikasi (JSA) ekastrak wijen.


SK    DB    JK    KT    Nilai F    F Tabel
                    0,01    0,05
Perlakuan    5    4189,98    837,99    22,28**    3,11    5,06
Galat    12      451,26     37,60           
Total    17    4641,25               

KK     =   21, 56 %
Keterangan  :  **  =  berpengaruh sangat nyata


Lampiran 3a. Mortalitas S. indecora pada 24 jam setelah aplikasi (JSA) ekstrak wijen

Perlakuan        Ulangan        Total    Rata-Rata
    1    2    3       
EW0    X      0,00      0,00      0,00      0,00      0,00
    Y      0,91      0,91      0,91      2,73      0,91
EW1    X    50,00    10,00    30,00    90,00    30,00
    Y    45,00    18,43    33,21    96,64    32,21
EW2    X    80,00    60,00    90,00     230,00    76,67
    Y    63,43    50,77    71,57     185,77    61,92
EW3    X    90,00    90,00    70,00    250,00    83,33
    Y    71,57    71,57    56,79    199,93    66,64
EW4    X    60,00    90,00    90,00    240,00    80,00
    Y    50,77    71,57    71,57    193,91    64,63
EW5    X    70,00    90,00    90,00    250,00    83,33
    Y    56,79    71,57    71,57    199,93    66,64

Lampiran 3b. Hasil sidik ragam mortalitas S. indecora pada 24 jam setelah aplikasi (JSA) ekastrak wijen.

SK    DB    JK    KT    Nilai F    F Tabel
                    0,01    0,05
Perlakuan    5    10885,06    2177,01    22,24**    3,11    5,06
Galat    12      1153,88       96,15           
Total    17    12038,95               

KK     =   20,08 %

Keterangan :  **  =  berpengaruh sangat nyata

Lampiran 4a. Rata-rata mortalitas S. indecora pada 36 jam setelah aplikasi (JSA) ekstrak wijen

Perlakuan         Ulangan        Total    Rata-Rata
    1    2    3       
EW0    X      0,00      0,00         0,00      0,00     0,00
    Y      0,91      0,91      0,91      2,73     0,91
EW1    X    70,00    70,00    60,00      200,00    66,67
    Y    56,79    56,79    50,77      164,35    54,78
EW2    X    100,00    90,00     100,00      290,00    96,67
    Y    89,09    71,57    89,09    249,75    83,25
EW3    X    90,00     100,00    90,00    280,00    93,33
    Y    71,57    89,09    71,57    232,23    77,41
EW4    X    90,00     100,00     100,00    290,00    96,67
    Y    71,57    89,09    89,09    249,75    83,25
EW5    X    100,00     100,00    90,00    290,00    96,67
    Y    89,09    89,09    71,57    255,75    85,25



Lampiran 4b. Hasil sidik ragam mortalitas S. indecora pada 36 jam setelah aplikasi (JSA) ekastrak wijen.


SK    DB    JK    KT    Nilai F    F Tabel
                    0,01    0,05
Perlakuan    5    16069,77    3213,95    45,77**    3,11    5,06
Galat    12       842,69       70,22           
Total    17    16912,46               

KK     =   13,13 %

Keterangan  :  **  =  berpengaruh sangat nyata

Lampiran 5a. Mortalitas S. indecora pada 48 jam setelah aplikasi (JSA) ekstrak wijen


Perlakuan    Ulangan    Total    Rata-Rata
    1    2    3       
EW0    X        0,00       0,00    0,00       0,00       0,00
    Y        0,91       0,91    0,91        2,73       0,91
EW1    X    100,00      100,00    100,00    300,00    100,00
    Y      89,09    89,09    89,09    267,27      89,09
EW2    X    100,00    100,00    100,00    300,00    100,00
    Y     89,09     89,09    89,09    267,27     89,09
EW3    X    100,00    100,00    100,00    300,00        100,00
    Y    89,09    89,09    89,09    267,27     89,09
EW4    X    100,00    100,00    100,00    300,00        100,00
    Y    89,09    89,09    89,09    267,27     89,09
EW5    X    100,00    100,00    100,00    300,00        100,00
    Y    89,09    89,09    89,09    267,27     89,09

        
c)     Pragmatis (Charles.S. Pierce, 1839 -1914)
Suatu pemyataan benar diukur dengan kriteria apakah pemyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis. Konsekuensi dari pernyataan tersebut mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan manusia. Sekiranya ada orang mengatakan teori X dalam pendidikan kedokteran, dan dengan teori X tersebut dikembangkan teknik Y dalam meningkatkan kemampuan belajar, dan ternyata secara ilmiah dibuktikan bahwa teknik Y dapat meningkatkan kemampuan belajar, maka teori X dianggap benar, sebab teori X ini adalah fungsional dan mempunyai kegunaan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar