Jumat, 23 Desember 2011

KONFLIK NELAYAN

OPINI   )
Oleh
ISMAYANTI

A.    Lokasi konflik :
       Lokasi konflik terjadi di daerah Banyuwangi Kabupaten Banyuwangi Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Merupakan masalah nelayan dari masyarakat Muncar yakni antara nelayan Purse seine lokal dengan andon.
B.    Jenis dan pembahasan konflik yang terjadi dapat dilihat sebagai berikut :
 Jenis Konflik : Konflik Historikal

      Pengenalan pemakaian alat tangkap purse seine di daerah Banyuwangi pada tahun 2006, hampir semua nelayan menolak alat tangkap ikan jenis ini. Hingga akhirnya ada beberapa tokoh masyarakat yang berani menggunakan dan berhasil. Lalu lambat laun penggunaan alat payang kecil mulai bergeser pada penggunaan purse seine. Sehingga upaya penyadaran yang dapat dilakukan adalah dengan cara melibatkan tokoh masyarakat yang berpengaruh dan memiliki pikiran terbuka terhadap hal baru menuju perkembangan yang lebih baik.
       Masalah konflik nelayan di Muncar sebenarnya adalah sebab, dari dan oleh masyarakat Muncar sendiri. Nelayan andon di sana itu sebagian besar didatangkan oleh para pemilik modal dari muncar sendiri, jadi mereka juga bisa diposisikan sebagai pengambeg. Dari penjelasan ini ada dugaan bahwa konflik itu sengaja ditimbulkan agar bisnis jual beli ikan di Muncar bisa dikuasai oleh orang Muncar. Hal itu juga diperkuat oleh penjelasan beberapa orang yang pernah diwawancarai. Intensitas konflik itu sendiri lebih terasa pada tingkatan juragan yang ada di muncar. Jadi nelayan andon bisa dikatakan sebagai korban persaingan bisnis penangkapan ikan di daerah Muncar.
       Konflik di Muncar (antara nelayan Purse seine lokal dengan andon) sudah dimulai sejak dulu. Kemudian memanas sekitar tahun 1998 hingga tahun 2002. Kemudian mencapai puncak pada tahun 2003, 2004 hingga tahun 2007 namun hal ini kemudian mulai reda pada awal tahun 2006, yaitu pada saat peristiwa pembakaran kapal nelayan andon tahun 2006. Pihak Dinas Kelautan dan Perikanan antar Kabupaten terus mengadakan koordinasi guna menyelesaikan masalah konflik tersebut. Kesepakatan aturan untuk menghindari konflik itu sebenarnya sejak awal sudah berulang kali dibuat, tapi hal itu hanya meredam konflik untuk sementara atau bisa dikatakan hanya bersifat temporer. Hal ini dikarenakan yang mengundang nelayan itu sebenarnya adalah nelayan Muncar sendiri. Sedangkan pihak-pihak yang dipandang bisa menengahi konflik biasanya adalah tokoh masyarakat yang juga punya alat tangkap purse seine. Inti dari masalah konflik adalah kecemburuan terhadap hasil tangkapan yang berbeda.
Sebenarnya jika nelayan lokal dan andon sama-sama mendapatkan hasil, hal tersebut tidak menjadikan masalah. Akan tetapi jika nelayan andon dapat tetapi nelayan lokal tidak mendapatkan hasil maka hal tersebut bisa menimbulkan konflik. Jadi, ada pemikiran bahwa apa sebenarnya memang ada nelayan andon apa tidak? Istilah nelayan andon sebenarnya hanya untuk menyatakan seseorang atau beberapa orang nelayan yang ada dan beroperasi di suatu daerah dan daerah tersebut bukan merupakan tempat tinggalnya atau bukan merupakan tempat asli nelayan tersebut. Sebenarnya istilah tersebut tidak perlu ada karena nelayan di Indonesia semestinya berhak menangkap ikan dimana saja sesuai dengan ijinnya dan harus sesuai dengan aturan yang berlaku. Lalu, jika memang ada nelayan andon, kenapa kapal-kapal perusahaan penangkap ikan dari Jakarta yang menangkap ikan di Wilayah Indonesia Bagian Timur tidak disebut dengan nelayan andon atau kapal andon? Bukankah itu mestinya sama?. Oleh karena itu sebaiknya istilah tersebut ditiadakan dan yang ada hanyalah kata “nelayan” saja.
C. Solusi dari konflik yang terjadi dapat dilihat sebagai berikut :
Pada dasarnya konflik terjadi karena masalah kecemburuan sosial dan ekonomi. Kita lihat saja, nelayan andon dari sisi SDM lebih baik daripada nelayan lokal karena sifat nelayan pantai utara yang lebih bisa menerima alih teknologi dan lebih tekun dalam usaha menangkap ikan. Lihat saja bahwa nelayan Tuban dan Lamongan akan mengumpulkan hasil tangkapan meskipun sedikit tetapi dikumpulkan dan terus beroperasi sampai palkah penuh. Ini berbesa dengan nelayan Muncar yang tidak menangkap ikan pada saat dilihat gerombolan ikan hanya sedikit dan mereka justru pulang lagi ke base camp. Tentu saja sikap ini didukung oleh kondisi perairan yang jaraknya tidak jauh dari tempat pangkalan mereka.
      Dengan adanya konflik tersebut, sebenarnya pemerintah daerah dan pemerintah propinsi dan pemerintah pusat seharusnya tanggap dan melakukan upaya-upaya konstruktif untuk membangun kondisi yang lebih kondusif. Upaya pembinaan nelayan juga harus dilakukan berkesinambungan dan terus menerus dengan melibatkan penyuluh dan petugas teknis lapangan. Melalui penyuluhan inilah diharapkan agar nelayan lokal dapat mengadopsi sisi teknologi dan ketekunan nelayan andon dalam usaha menangkap ikan. Apapun yang terjadi, jika nelayan Muncar tidak mengadopsi teknologi, mereka pasti akan ketinggalan dan akhirnya akan berlaku hukum alam. Pelan-pelan namun pasti, siapapun yang tidak bisa menyerap ilmu dan teknologi, mereka akan tertinggal dan tenggelam dalam ketidakberdayaan.
Implementasi otonomi wilayah laut terhadap kegiatan usaha penangkapan ikan telah membawa dampak perubahan pola pikir masyarakat dari pola kemajemukan dan nasionalis menjadi sosok masyarakat yeng kental akan kedaerahan, meningkatnya ego dan aroganisme daerah sehubungan dengan pemahaman otonomi wilayah laut yang kurang tepat. Dalam implementasi aspek hukum kegiatan usaha dan perijinan penangkapan ikan terjadi tumpang tindih antara kepentingan pusat dan propinsi sebagai pihak pusat dan kepentingan daerah kabupaten, dimana perijinan untuk penangkapan terbagi-bagi dalam batas wilayah laut dari surut terndah ke arah laut sedangkan pelaksanaan kegiatan usaha penangkapan ikan di laut tidak bisa dibatasi oleh peraturan yang ada di suatu daerah.
      Pelaksanaan penerapan hukum pada pelanggaran penangkapan ikan (ilegal fishing) didasarkan secara nasional tanpa melihat aspek unsur daerah. Pada akhirnya perda yang ada di kabupaten sering bertentangan dengan peraturan yang tinggi dan berlaku secara nasional.
Peraturan perundang-undangan yang selama ini mengatur pengelolaan kawasan pesisir dan lautan untuk digunakan sebagai landasan perumusan sistem pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan secara terpadu dengan melibatkan peran masyarakat, termasuk pemerintah daerah. Demikian juga perlu sikap tegas dan konsekuen aparat dan pengambilk kebijakan masalah pengelolaan usaha penangkapan ikan untuk membatasi ijin usaha penangkapan ikan berdasarkan jumlah tangkapan yang diperbolehkan. Untuk lebih memberi efek jera dalam mengantisipasi melebarnya konflik, penyelesaian konflik nelayan sebaiknya diselesaikan secara hukum dengan memperhatikan kondisi sistem penangkapan ikan yang ada di daerah yang meliputi luas perairan dan perbatasan dengan daerah lain, budaya masyarakat serta status pelanggaran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar